13.7.08
One komentar

Cerpen - Sebuah Paket

Hari ini Ratih ulang tahun. Ia telah membuat janji dengan teman-temannya, ia akan mentraktir mereka minum malam nanti. Beberapa hari sebelumnya, Ratih sudah mengatakan kepada teman-temannya bahwa saat ulang tahunnya nanti, ia tak ingin pesta yang banyak menghabiskan uang. Ia mempertimbangkan uangnya yang tersisa setelah dikirim ke keluarganya sebagai tambahan ongkos pengobatan ibunya. Teman-teman Ratih tidak mempersoalkan.
Ratih baru membuka kedua kelopak matanya saat pintu kamarnya diketuk berkali-kali dari luar. Ia tak biasa tidur siang. Tapi hari ini badannya terasa sangat capek. Ia beranjak dari kasurnya dan meraih gagang pintu. Seorang kurir menyerahkan sebuah paket untuk Ratih. Setelah membubuhkan tanda tangan dan memberi uang tips kepada kurir itu, Ratih kembali ke kasurnya. Rasa penasaran pun menggelitik benaknya. Tak ada nama pengirim atau alamat. Sampul paket itu hanya tertulis alamat tujuan; alamat dan nama terang Ratih.
Ratih menarik nafas dalam-dalam. Setelah itu, ia gelengkan kepalanya. Di wajahnya mulai tampak kepanikan. Kedua matanya seperti hendak meloncat keluar saat membaca tulisan dalam secarik surat. Dahinya mulai basah oleh keringat. Selembar kertas yang menampakkan bekas lipatan itu masih berada dalam genggamannya. Ia remas keras-keras kertas itu. Jari-jari tangan kiri Ratih mengoyak rambutnya yang lurus panjang. Beberapa helai pun gugur di atas kasur.
Ratih menemukan selembar kertas itu dalam sebuah paket yang baru saja ia terima. Begitu ia terima paket yang dibungkus kertas berwarna cokelat dari seorang kurir, ia langsung menyobek bungkusnya. Sekeping CD terbungkus plastik mika. Tak ada keterangan apa pun pada permukaan CD, kecuali setelah ia buka selembar kertas putih yang terlipat dan terbungkus bersama CD itu.
Aku bisa saja gandakan CD ini, tapi aku tak mau melakukannya. Terlalu mahal bagiku. Aku akan pasang ini di internet. Jutaan mata di seluruh dunia pasti akan menikmatinya. Jika kamu tidak ingin aku menyebarkannya, aku mempunyai syarat yang akan aku tentukan nanti.
Ratih merasa kesulitan mengenali siapa pengirim paket itu. Tak ada alamat atau tanda-tanda dari siapa paket itu dikirim. Selain itu, kalimat-kalimat yang tertera dalam kertas itu bukan tulisan tangan, melainkan diketik dengan komputer. Dalam benaknya, ia merasa ditelikung. Seseorang telah memasukkannya dalam sebuah perangkap, kemudian membunuhnya pelan-pelan.
Jantung Ratih berdetak lebih cepat dari gerak detik jam di dinding kamarnya. Ia robek kertas itu. Dilemparnya CD yang terbungkus mika itu ke sudut ruangan. Sebuah vas bunga kecil gugur ke lantai, terkena lemparan CD. Pikirannya tidak lagi membayangkan pesta ulang tahunnya nanti malam. Pikirannya justru membayangkan hanya dalam hitungan beberapa menit saja setelah itu telanjang tubuhnya yang ditindih seorang laki-laki akan dilihat oleh jutaan mata di seluruh dunia. Tapi laki-laki yang mana?
Ratih memeras seluruh ingatannya. Ia coba mengingat-ingat satu persatu beberapa laki-laki berdompet tebal yang telah mengencaninya, membawanya ke sebuah hotel di dalam atau luar kota, menuangkan bir untuknya, dan pada akhirnya menindih tubuhnya. Namun itu sia-sia. Sama saja bohong. Mustahil semua laki-laki itu bersepakat menjebaknya. Kalau harus mencurigai salah satunya, ia pun kesulitan. Semua laki-laki yang telah ia layani terlalu baik. Mereka merasa puas meniduri Ratih, menjilati bagian-bagian tubuhnya, hingga yang paling sensitif sekalipun. Tak ada yang mengeluh, apalagi memprotes pelayanan Ratih.
“Mungkinkah ada yang iri padaku?” pikiran Ratih mencoba membuat kemungkinan-kemungkinan.
Meski begitu, ia tak berhasil. Membuat kemungkinan adalah menduga-duga. Dan, sesuatu yang dihasilkan dari dugaan tak pernah berjalan mulus.
Ratih menyambar tiga ponselnya. Dari ponsel pertama yang ia pegang, ia hubungi beberapa orang. Orang pertama yang ia hubungi menjawab pertanyaan-pertanyaan Ratih. Begitu seterusnya. Ponsel kedua dan ketiga pun tak luput dari tangannya. Tak terdengar Ratih berbicara dengan nada datar atau bermanis-manja, seperti yang biasa ia lakukan kepada laki-laki yang hendak mengajaknya kencan.
Kepada setiap orang yang dapat ia hubungi, ia berbicara dengan suara membentak yang disertai dengan umpatan-umpatan, bahkan memaksa seolah-olah orang-orang itu harus mengiyakan. Ratih tiba-tiba menjadi seorang interogator yang memaksa tahanan untuk mengakui kesalahan, meskipun si tahanan itu tak bersalah.
Ratih tak menyerah. Setelah beberapa laki-laki yang ia hubungi tak memberikan jawaban memuaskan, ia pun menghubungi beberapa temannya yang berprofesi sama. Kali ini, cara bicara Ratih pun tak jauh beda. Bahkan ia sempat berdebat dengan salah satu temannya, Siska.
“Pasti dari kalian ada yang iri atau ingin mencelakakan gue, bukan?”
“Ya tuhan, sumpah gue nggak pernah punya niat sekongkol ngelakuin itu. Gila lo ya, Rat. Kapan kita pernah satu room bareng ngelayani tamu?”
“Sialan lo. Lo nggak mikir? Coba bayangkan kalau wajah gue muncul di internet dan dilihat jutaan mata kepala, lalu gue dikejar-kejar polisi, masuk penjara. Itu pasti gue yang pertama keliatan. Muka gue. Laki-laki semua pengecut.” Balas Ratih berapi-api, sembari menunjuk mukanya sendiri. Seolah-olah ia benar-benar berhadapan dengan Siska.
“Lo sudah cek ke Maya, Nelly, atau Nina?”
“Persetan dengan mereka.”
“Kenapa?”
“Mereka malah ngetawain gue, terutama si Nelly. Mereka bilang gue akan jadi terkenal. Benar-benar perek sialan lo semua.”
“Hey, lo juga perek tauk! Kita tau, lo yang paling sering dapet tamu. Tampang lo emang paling cakep di antara kita-kita. Tapi kita nggak pernah iri pada lo. Itu cara lo makan. Sama kayak kita-kita.” Entah Siska hanya menggertaknya atau memang benar-benar tersinggung dengan kata-kata Ratih.
Ratih terpaku mendengar kata-kata Siska. Seperti ada gasing yang berputar-putar dalam kepalanya, Ratih semakin pusing.
“Ah, sudah-sudah. Kalo emang wajah gue nampang di internet, biarin aja. Dunia emang bejat. Keparat semuanya. Cuh..”
Ratih memutus pembicaraan tanpa menunggu Siska memberi tanggapan. Kalau pun ia harus pergi secepatnya dari kota ini, ia tidak yakin ingin pulang ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Ia terlanjur yakin telanjang tubuhnya sudah dinikmati oleh jutaan mata di seluruh dunia. Orang-orang bisa menikmatinya melalui komputer, laptop, atau ponsel setelah mengunduhnya dari situs-situs porno di internet. Semua benda-benda itu sudah bukan barang aneh bagi orang-orang desa, tak terkecuali orang-orang di kampung Ratih. Video porno pun sudah bukan barang yang sulit dicari. Tinggal ditransfer ke dalam ponsel, semua orang bisa dengan leluasa memelototkan mata.
“Tapi bagaimana dengan keluarga gue di kampung?” pikir Ratih.
Tiba-tiba ia teringat ibunya yang sering sakit-sakitan. Selama ini, ibunya hanya tahu Ratih ke Jakarta untuk kuliah D3 di sebuah perguruan tinggi swasta. Ratih diwisuda lima bulan yang lalu. Setelah itu, ia meminta ijin kepada ibunya agar tetap tinggal di Jakarta. Ia akan mencari pekerjaan di sana. Sebagian dari gaji yang ia terima nanti akan disisihkan jika sewaktu-waktu ibunya sakit mendadak. Terakhir kali ia mengirim uang kepada ibunya belum genap seminggu lalu.
Tapi, sekarang segalanya seperti mimpi buruk di siang hari. Ratih merasa dirinya terlalu konyol. Ia persalahkan dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena telah menghujamkan pisau ke jantungnya sendiri dengan meminjam tangan orang lain. Mungkin tanpa disadari olehnya, salah seorang dari sekian laki-laki yang telah berkencan dengannya diam-diam merekam adegan panasnya di kamar yang rata-rata ber-AC. Atau, di salah satu hotel yang pernah ditempatinya berkencan sengaja dipasang kamera pengintai.
Ratih berjalan mengambil kembali CD yang telah dilemparkannya.
“Jika memang benar di dalamnya terdapat film mesum gue, gue hanya punya dua pilihan: gue akan simpan sendiri atau gue hancurin sekalian.” Gumamnya.
Ratih pun mengambil laptop dan menyalakannya. Setelah selesai loading, ia masukkan CD itu ke dalam CD Room. Dia klik file dalam CD itu dan terbukalah sebuah video player. Matanya seakan hendak meloncat dari kepalanya ketika ia melihat gerakan-gerakan dalam film itu; seekor kucing bernama Tom mengejar seekor tikus bernama Jerry.
“Keparat.” Gumam Ratih. “Kalau sampai ketahuan siapa yang mengirim CD ini, gue pasti akan maki habis-habisan dia. Tapi, siapa yang tahu alamat kos gue selain Siska dan Nelly?”
Belum sempat ia menggenapkan pertanyaannya, ponselnya bernyanyi.
“Hey, lo dah coba liat isi CD yang lo maksud itu?”
“Hmm….belom.” Ratih berbohong kepada si penelfon.
“Nah, itu dia.”
“Emang kenapa, Sis?”
“Nggak apa-apa. Eh, ntar malem jangan lupa ya janji lo mau traktir kita-kita.”
Ratih ingin tersenyum, tapi hatinya masih terasa kecut.

*Jogja, 2008
_____________________________________________
Dimuat di HU Seputar Indonesia, Minggu 13 Juli 2008

1 komentar:

Anonymous said...

Hmm...jadi intinya Ratih dikerjain ya sama temen2nya?

 
Toggle Footer
Top