tag:blogger.com,1999:blog-282073232024-03-08T22:28:13.056+07:00BERANDAnulis, cerpen, puisifahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.comBlogger58125tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-68098679819558126792018-02-12T22:15:00.000+07:002018-02-12T22:15:01.492+07:00Menengok Blog Yang Udah LumutanAkhirnya bisa mengakses blog ini lagi. Kira-kira masih ada yang mau baca, nggak, ya? :)))))<span class="fullpost">
</span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-13290987356202634052013-03-01T03:12:00.002+07:002013-03-01T03:12:22.716+07:00Kehidupan<div class="MsoNormal">
hari demi hari kita mencari<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
pada kehidupan yang miskin<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
ternyata kita percaya, tak ada yang tersisa<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
mimpi-mimpi kita adalah keadaan yang membuat segalanya<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
seperti topeng badut<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
sekarang kita mesti memulai dari awal lagi<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
sebab kita tak bisa mengendalikan keinginan<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
sebab dunia menunggu kita<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
menghancurkan segala ketakutan<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
dan ketidakpastian<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">2012</span></i><span class="fullpost">
</span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-19580685620898227792010-04-24T04:39:00.001+07:002013-02-26T08:41:41.649+07:00NUNG (15)biarkan aku datang dari hujan<br />
di saat kota berlalu di waktu malam<br />
tulisan-tulisan di dinding dan nubuat kuno<br />
menceritakan kejahatan yang begitu sempurna<br />
<span class="fullpost"></span><br />
tapi aku percaya<br />
masih ada sedikit waktu untuk berubah<br />
sebelum dunia menjadi debu<br />
sebelum kita terhuyung ke tepi<br />
diburu oleh kenangan masa lalu<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">jogjakarta</span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-43260309011089467652008-12-09T03:35:00.000+07:002008-12-09T03:39:30.086+07:00NUNG ( 11 )biarpun retak cermin<br />aku tak akan bergeming<br />jika kau mau, ikutlah denganku<br />di tepi sungai kita berkaca pada air<br />menatap langit dengan kepala tertunduk<br /><br /><span style="font-style:italic;">menteng, 9/12/08</span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-33058620312311489712008-10-17T01:12:00.000+07:002008-10-17T01:13:24.248+07:00NUNG ( 7 )aku masih mengingatmu<br />hai, perempuan yang menggambar itik<br />di lengan kananku<br />dan mengutuk lengan kiriku<br />jadi batu<br /><br /><em>*2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-15313441606379359332008-10-17T01:10:00.000+07:002008-10-17T01:11:25.763+07:00NUNG ( 3 )tak ada yang benar-benar gelap<br />selain malam yang menggerayangi wajahmu<br />meruapkan aroma kembang kenanga<br />lalu hujan muncul di celah pagar<br />dengan percik sederhana<br /> <br />oi, di mana segala muasal<br />musim ketiga datang tanpa ihwal<br />mencatat puisi tak terucap<br />bukan karena bibir telah terkatup<br />tapi tersebab kau anyam kata<br />agar lekas kukenang seluruh cemas<br />dan kau biarkan rindu seperti embun<br />menutup kaca jendela<br /><br /><em>*2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-36965643683705149332008-09-21T06:01:00.001+07:002008-10-17T00:40:21.311+07:00NUNG ( 2 )aku masih menyimpan jejak pelayaran<br />yang berkali-kali dikaramkan ombak<br />tapi orang-orang menuduhku telah menyimpan lelucon untukmu<br /><br />kau tahu, berlayar tak hanya mengikuti arah angin<br />atau menebak gerak ombak<br />sebab laut memberi tanah yang lain<br />sebab maut selalu menunggu di celah karang<br /><br /><em>*2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-56536021198289544782008-09-21T05:59:00.001+07:002008-10-17T00:39:08.496+07:00NUNG ( 1 )ceritakan padaku tentang laut <br />yang telah memberimu kenangan tak terpahamkan<br />seperti senja yang turun membawa kabar buruk<br />seperti dukacita yang sekeras tebing-tebing<br /><br />aih, apakah masih ada sisa<br />selain butir pasir yang nyelinap <br />di lurus rambutmu?<br /><br /><em>*2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-90961562268917095232008-09-15T16:08:00.000+07:002008-09-15T16:09:38.284+07:00NUNGnung, kau lihat dari balik pintu<br />rumahmu yang menatap senja<br />dua ayam jantan bersabung di hari murung<br />menerjemahkan kemenangan dan kekalahan<br />kemenangan hanya semacam persitiwa kecil<br />yang akan terus dikenang seperti kekalahan<br /><br />nung, di suatu waktu yang tak lebih kaku dari tulang rusukmu<br />kekalahan menjadi lebih nikmat. seperti rasa kopi yang pekat.<br />dan di waktu yang lain, <br />tangan-tangan batu sekeras kepalamu. <br />memutar kisah yang salah. sejarah pun berbelok arah<br /><em>: yang membangun harus bisa menghancurkan<br /> yang mengenang harus bisa melupakan</em><br /><br />pada seribu angin, kau usir musim<br />pada seribu cuaca, kau titip rencana<br />pada seribu pagi, kau tumbuk hati<br />pada seribu malam, kau mimpi lebam<br /><br />nung, kini tak ada lagi ruang ragu<br />di sempit kamarmu <br />tersebab kau terlanjur percaya <br />di balik muslihat angka<br />tersebab kalimat telah gugur<br />di malam lamur<br /><br /><em>September, 2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-76044726739694121192008-09-15T16:07:00.000+07:002008-09-15T16:08:26.594+07:00SAJAK RINDUbila kupeluk tubuhmu<br />tidakkah kau tahu <br />ada yang lebih cemburu<br />dari gigil yang selalu risau<br /><br />bila kusebut namamu<br />tidakkah kau tahu<br />batu-batu ngigau<br />salah menafsirkan pikiranku<br /><br />bila kutatap matamu<br />tidakkah kau tahu<br />kulihat silsilah masa lalu<br />seperti sisa gurat pisau<br /><br />bila kuambil tanganmu<br />tidakkah kau tahu<br />kita telah pecahkan waktu<br />yang lebih keras dari batu<br /><br />dan bila kau tinggalkan aku<br />tidakkah kau tahu<br />aku selalu memburu jejakmu<br />sebab tak ada istirah bagi hati yang rindu<br /><br /><em>Jogja-Agustus, 2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-63853201346988198742008-09-12T13:03:00.001+07:002009-06-26T00:53:37.607+07:00cerpen: TELEPON IBUPagi ini ponselku berdering. Antara sadar dan tak sadar, kuangkat panggilan itu. Suara perempuan tua terdengar di balik speaker ponsel; itu suara ibuku. Aku sedikit ragu-ragu. Mungkin karena sejak kemarin pagi aku tidak tidur dan baru bisa tidur dua jam lalu, pikiranku masih melayang-layang. <br /><br /> “Nang, kapan ikut buka puasa dan sahur di rumah?” tanya ibu.<br /><br /> Aku paham apa maksudnya. Ini pasti trik untuk menyuruhku pulang. Ya, biasanya ibu memang suka begitu. Sangat jarang dia menyuruhku pulang secara tegas, kecuali untuk urusan-urusan yang sangat penting. Dan puasa kali ini aku memang tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.<br /><span class="fullpost"><br /> “Ya, nanti lah, bu. Aku masih ada kerjaan yang belum bisa ditinggal. Keluarga baik-baik saja kan?” jawabku dengan suara lemah. <br /><br /> “Alhamdulillah. Bapakmu dua hari lalu kambuh sakit perutnya. Mungkin karena masih awal puasa, apalagi kamu sendiri tahu kebiasaan bapakmu yang suka ngemil itu kan? Eh, gimana kamu sama Fitri?”<br /><br /> Ah, kenapa ibu bertanya begitu? Apakah ibu sejauh itu merasakan apa yang terjadi padaku beberapa hari belakangan ini, tepatnya tentang hubunganku dengan Fitri? <br /><br /> “Insyaallah baik-baik aja, bu.” Jawabku berbohong.<br /><br /> “Ya sudah. Banyak-banyak ibadah di bulan puasa ini. Ibu dan bapak mendoakanmu dari rumah.”<br /><br /> “Amin. Terima kasih, bu.”<br /><br /> Ibu sudah menutup telpon. Jarum jam menunjukkan pukul 6.30 pagi. Aku masih ingin melanjutkan tidur, tapi pertanyaan ibu tadi terlanjur mengganggu pikiranku. Ya, aku memang pernah mengajak Fitri ke rumahku. Kukenalkan dia pada keluargaku. Kata mereka, Fitri gadis yang menarik. Bahkan anak tanteku yang masih kecil sampai sekarang masih sering menanyakan Fitri. Kata orang, entah benar atau salah, anak kecil punya perasaan yang tajam. <br /><br /> Tak berselang lama, ponselku berdering kembali. Kali ini aku tahu, itu nada dering untuk pesan singkat yang masuk. Nama pengirim pesan itu terpampang jelas di ponselku, itu pesan singkat dari Fitri.<br /><br /> “Maaf, mas. Tadi malam aku ketiduran.” Begitu bunyinya. <br /><br />Aku coba mengingat-ingat apa isi pesan singkatku semalam untuknya. Ya Tuhan, semalam aku berusaha menelponnya. Tapi sampai tiga kali panggilan, Fitri tak mengangkatnya. Aku sempat mengirimkan pesan singkat ke ponselnya, sekadar menanyakan apa yang dilakukan Fitri sampai-sampai ia tak mengangkat panggilanku. Apakah Fitri lupa menaruh ponselnya? Atau, barangkali ponselnya ketinggalan di suatu tempat sehingga ia tak tahu ada panggilan dariku? Ya, ini kebiasaan yang cukup sering dilakukan.<br /><br /> “Ya, sudah. Gak apa-apa kok. Semoga hari ini tetap jadi hari yang menyenangkan bagimu, hunny,” balasku. <br /><br />Aku manfaatkan waktu yang tidak sampai satu jam di pagi ini untuk bermalas-malasan di kasur, sebelum aku berangkat kerja. Aku menunggu balasan SMS dari Fitri. Tak kunjung masuk ke ponselku. Menit ke menit terus berlalu, aku masih menunggu.<br /> <br /> *** <br /><br /> Entah apa yang menguasai pikiranku. Setiap kali aku mengirimkan SMS kepada Fitri, aku selalu berharap ada balasan darinya, sama seperti dia yang dulu sering protes ketika SMSnya tak segera kubalas. Tapi setelah hampir dua minggu ini, beberapa SMSku tak terbalas, tepatnya jarang dibalas. Banyak pertanyaan tentang Fitri bergantungan di kepalaku. Bahkan untuk menelponnya pun aku harus berusaha keras, bisa tiga sampai lima kali dalam sehari semalam. Lambat laun, aku sering tak enak hati. Parahnya, perasaan itu selalu terbawa ke tempat kerjaku. Teman seruanganku yang mengetahui situasi batinku akhir-akhir ini menyarankan aku mencari hiburan yang ringan-ringan atau sekadar jalan-jalan ke mal. <br /><br /> “Atau sepulang kerja nanti kita cari kolak di pinggir jalan untuk buka puasa. Di situ kita bisa lihat ramainya orang berlalu lalang. Aku dulu juga sering begitu, melihat orang saja sudah membuat pikiran segar.” Ajak temanku tadi.<br /><br /> Aku mengiyakan. Sepulang kerja kami pun menyusuri salah satu ruas jalan protokol di kota ini. Sudah jadi tradisi di kota ini saat bulan puasa tiba, tepi-tepi jalan terlihat seperti pasar tiban. Penjual kolak dan pembeli sama banyaknya. Meski aku tinggal lumayan lama di kota ini, belum pernah sekalipun beli kolak sambil nongkrong seperti ajakan temanku tadi. Tapi, tak apalah, barangkali memang aku sedang butuh suasana segar untuk mengurangi beban pikiranku tentang Fitri.<br /> “Apa yang terjadi padamu, Nang?”<br /><br /> “Entahlah, Bud. Aku juga tak paham. Pikiranku selalu tertuju padanya. Aku jadi semakin nggak jelas.” Jawabku. Aku pikir Budi sangat paham siapa orang yang aku maksud. <br /><br /> “Coba kau temui dia. Ajak ngomong baik-baik. Jangan sampai akal sehatmu dipermainkan oleh perasaanmu sendiri.” Saran Budi.<br /><br /> “Kau pikir aku tak berusaha, Bud? Saat ia tak di sini, aku berusaha rajin-rajin mengirimkan SMS atau menelponnya, karena hanya itu yang bisa dilakukan setidaknya untuk sementara ini.” Jawabku, kesal.<br /><br /> “Memangnya dia tidak di sini?”<br /> “Tidak. Dan itulah masalahnya.”<br /> “Kenapa harus jadi masalah?”<br /> “Perasaanku semakin tak enak. Apalagi tadi pagi ibuku menelponku, menanyakan keadaan hubunganku dengan Fitri.”<br /> “Nah, itu lah, Nang. Aku kan sudah bilang, jangan kau ladeni perasaan semacam itu. Perasaan itu mudah datang dan mudah pergi. Beda dengan rasa sayang.”<br /><br /> Jalan raya yang membujur beberapa meter dari tempat kami duduk makin ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Aku sama sekali tak tergoda untuk melihat mereka. Kepalaku semakin pusing. Ada perasaan-perasaan yang hendak memberontak karena terlalu lama terkurung dalam tengkorak kepalaku. Dalam kondisi seperti ini memang aku sering tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk mengambil keputusan yang sangat sederhana sekalipun. Aku telah dikuasai oleh perasaanku.<br /> <br /> “Nang, yakinlah bukan kamu yang meminta perasaan itu. Ia datang tiba-tiba. Tapi kamu telah menyerahkan hidupmu di tangan perasaanmu. Harusnya kamu yang mengendalikannya.” Kata Budi.<br /><br /> Aku tak tahu. Mungkin Budi bermaksud menenangkan pikiranku yang tak karuan. Dia memang kawan yang baik. Tapi dalam situasi seperti yang terjadi padaku, tidak semua orang bisa berpikir jernih. Ungkapan yang sangat sederhana bisa jadi sebaliknya.<br /><br /> “Tapi coba kau baca ini, Bud.” Aku buka kotak pesan ponselku. Menggeledah satu per satu SMS yang pernah dikirim oleh Fitri kepadaku.<br /><br /> “<em>Proses qta tdk brjlan brsamaan, sptny itu sj mslhny</em>,” isi pesan itu aku tunjukkan pada Budi.<br /><br /> “Nah, itu kalimat yang sudah cukup jelas menurutku. Jadi, siap-siaplah kau patah hati..ha..ha..haa..” ledek Budi.<br /><br />Ah, detak jantungku semakin tak teratur mendengar komentar Budi. Berarti Fitri memang sengaja ingin menghindariku pelan-pelan, pikirku.<br /> <br /> “Tapi, Bud. Kalau Fitri benar-benar mau sama aku, tentunya dia tak akan semudah ini membuat keputusan. Lagi pula mencintai yang sempurna itu nggak bakal ada dong. Yang ada hanya bagaimana bisa mencintai sesuatu yang tak sempurna dengan cara yang sempurna, Bud.” Kataku membela diri.<br /><br /> Budi menarik nafas. Langit mulai berwarna tembaga. Jalanan makin ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku diam-diam merasa terlempar ke suatu tempat yang sangat sunyi. Menata perasaan yang berkecamuk jelas lebih sulit daripada menata lalu lalang orang-orang di jalan raya ini.<br /><br /> “Nang, sekali-sekali jangan kau jadi dirimu sendiri. Kau harus jadi orang lain yang melihat dirimu. Mungkin selama ini caramu berhubungan dengan pacarmu itu telah membuatnya tak nyaman.” Saran Budi yang mirip sebuah ceramah filsafat.<br /><br /> “Nah, berarti kan harus dikomunikasikan terlebih dahulu apa yang jadi keluhannya. Menurutku, salah jika mencintai diartikan sebagai menyukai belaka. Mencintai adalah komitmen, Bud. Komitmen untuk saling berbagi, saling memahami, dan menyempurnakan kekurangan satu sama lain. Saling mendukung. Kalau ada yang salah, ya diluruskan.” Kataku dengan nada tinggi. <br />Budi terdiam. <br /><br /> “Ya sudahlah, Nang. Tidak semua orang berpikir sepertimu. Anggap saja antara kalian terhalang sifat egois. Kau menganggap benar pikiranmu, begitu juga sebaliknya dengan pacarmu. Setidaknya aku sudah memberimu saran-saran, terserah kau mau pakai atau tidak.” Jawaban Budi terdengar datar. Barangkali dia kesal dengan sikapku yang keras kepala. <br /><br /> Aku diam. Demikian juga Budi. Aku meliriknya, dia sedang mengetik SMS, entah untuk siapa akan dikirim SMS itu. Lampu-lampu kota sudah mulai menyala. Pertanyaan-pertanyaan tentang Fitri masih berjejal di kepalaku, seperti ruas jalan raya yang tak sampai sepuluh meter jauhnya dari tempat dudukku.<br /><br /> “Ayo kita pulang. Sebentar lagi magrib.” Ajak Budi, tangannya menepuk pundakku.<br />Langit yang tadi berwarna tembaga sekarang berubah kelabu. Meski kami sudah beranjak dari tempat kami membeli kolak, namun pikiran tentang Fitri tampaknya sulit beranjak dari kepalaku.<br /><br /> ***<br /><br /> Malam ini aku berusaha menaklukan pikiran-pikiran yang berdesak-desak di kepalaku. Pikiran yang makin liar. Bukankah menunggu sesuatu yang tak jelas akan sangat membosankan? Aku lihat ponselku, rasanya jemariku sudah tergoda untuk mengirimkan SMS untuk Fitri. Tapi aku ragu.<br /><br />_____________________________________<br />*Jombang, 10 September 2008<br /></span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-68206937022575599442008-09-11T14:33:00.002+07:002009-06-26T00:55:49.025+07:00Cerpen: PEREMPUAN BERMATA SIPITAku biarkan dia memaki sesukanya. Semua yang telah aku lakukan untuknya, kini seperti omong kosong yang salah. Kata seorang temanku, apa yang mesti dijelaskan lagi pada orang keras kepala seperti dia? Ada benarnya apa yang dikatakan temanku itu, meski sebenarnya aku masih ragu. Tentu dia punya alasan berbuat begitu. Setiap orang punya alasan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang jadi keyakinannya.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /> Baiklah, agar kau tak makin pusing, aku mulai saja cerita ini.<br />Aku bertemu pertama kali dengannya di stasiun Tugu. Tidak usah aku ceritakan bagaimana kami membuat janji sebelumnya. Yang jelas, kami bertemu di sana saat kereta yang aku tumpangi tiba di stasiun itu. Mata kami saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikirannya ketika melihatku. Sebaliknya, aku melihatnya sebagai perempuan yang menarik. Namun, dari matanya yang sipit itu aku menangkap kesan ia memang keras kepala. <br /><br /> Beberapa saat kemudian, tubuh sudah kami melaju di atas motor yang kami tumpangi melewati jalanan Jogja di pagi hari. Kata demi kata meluncur dari mulutku dan mulutnya.<br /><br /> “Emang ada acara apa di Jakarta, mas?” tanyanya.<br /> “Ada peluncuran buku puisi dan sebagian penyair yang puisinya masuk dalam buku itu diundang ke Jakarta,” jawabku.<br /><br /> Lalu, percakapan kami pun melebar seperti air tumpah. Tanpa terasa motor yang kami tumpangi sampai juga di halaman kosku. Aku menawarkan teh hangat. Kami menumpahkan segala cerita dan pertanyaan yang ada di kepala masing-masing. Dari perckapan itu pula aku tahu dia masih kuliah. Namun, entah kenapa aku mencurigai diriku sendiri yang tiba-tiba merasa nyaman saat berbicara dengannya. <br /><br /> Sejak pertemuan itu, kami jadi makin intensif berkomunikasi melalui pertemuan-pertemuan sederhana. Aku juga makin rajin mengirim pesan singkat. Sesekali aku menelfonnya hanya untuk mendengarkan suaranya. Ia pun begitu rajin membalas setiap pesan singkat yang kukirim, mungkin sudah belasan kali setiap harinya.<br /><br /> Kata pepatah Jawa <span style="font-style:italic;">trisno jalaran soko kulino</span> ada benarnya juga. Karena seringnya bertemu dan berkomunikasi itu, aku jadi makin rindu padanya. Padahal aku sendiri belum bagitu tahu siapa ia sebenarnya. Sungguh perasaan yang aneh !<br /><br /> Kepada seorang teman aku bercerita apa yang sedang aku alami.<br /><br /> “Kalau kau selalu bermain dengan pikiran negatif, kapan kau akan merubah kehidupanmu?” katanya.<br /><br /> Ya, benar juga kata temanku itu. Barangkali sama seperti orang lain, jejak-jejak kenangan yang ada di kepala memang tak bisa dibuang. Bahkan melupakan pun tidak berarti membuang, sebab pada saat tertentu ketika ada pemantiknya, kenangan itu seperti api yang siap membakar benda-benda.<br /><br /> Aku semakin yakin untuk menjalani hari-hariku bersama perempuan itu. Ya, sekadar menjalani saja dulu. Mungkin ia juga sama sepertiku. Seandainya tidak, tentu ia akan banyak alasan untuk menolak bertemu dalam intensitas yang sesering itu. Ia perempuan yang selalu riang. Bahkan seringkali ia memancingku dengan humor-humor yang tak terduga olehku. <br /><br /> Suatu malam, ia bercerita kepadaku tentang ketegangan yang terjadi antara ia dan pacarnya. <br /><br /> “Mas, aku sudah pacaran dengannya 6 tahun. Aku sudah melaluinya dengan sabar dan sabar. Tapi tetap saja kelakuannya seperti itu di belakangku.” Katanya.<br />Baru kali itu aku menangkap kesedihan di balik mata sipitnya yang membuatku terpesona. Diam-diam ada perasaan aneh yang lain, yang tak mudah kuluncurkan dari mulutku.<br /><br /> “Apa yang dilakukan pacarmu?” tanyaku menyelidik.<br /> “Dia selingkuh dan itu dilakukannya berkali-kali.” Jawabnya.<br /> “Hmm…buatku selingkuh adalah kesalahan yang tak termaafkan, siapa pun yang melakukan itu. Bahkan mendengarnya saja aku benci, apalagi jika itu dilakukan padaku.” Kataku.<br /><br /> “Tapi aku masih sayang padanya. Dia itu pacar yang baik buatku.” Katanya.<br />Jawaban perempuan itu tentu saja mengejutkanku. Kenapa ia masih juga memikirkan kekasihnya yang baru saja diakuinya melakukan selingkuh berkali-kali?<br /><br /> “Manusia hanya melakukan dua hal dalam hidupnya,” kataku.<br /> “Pertama, harus memilih. Kedua, bertanggung jawab dengan pilihannya.” Lanjutku.<br /> “Maksud, Mas?”<br /> “Ya, kamu harus memilih untuk tetap bertahan atau putus dengan pacarmu itu. Kalau kamu memilih bertahan, jangan mengeluh lagi seandainya keberadaanmu diremehkan begitu saja. Sebaliknya, jika kamu memilih putus, jangan bersedih. Aku pikir kamu bisa melakukan yang terbaik untukmu.” Kataku.<br /><br /> Aku lihat matanya yang sipit itu semakin kosong. Entah perasaan apa yang bertaburan di kepalanya.<br /><br /> Suatu malam setelah beberapa minggu kemudian ia bercerita lagi tentang hubungannya yang makin memburuk. <br /><br /> “Mas kok nggak nyuruh aku putus? Nggak suka sama aku ya?” Pertanyaan itu telak membuatku terperanjat. Apa yang ada dalam pikiran perempuan ini tentangku? Meski sebenarnya diam-diam aku sudah menyukainya, aku perlu hati-hati menjawabnya. Aku tak ingin pengalamanku mendekati atau menjalin hubungan dengan perempuan di masa laluku terulang kembali.<br /><br /> Mata sipit perempuan itu terlihat kosong lagi. Seperti ada kepanikan yang sulit diterjemahkan. Seperti ada keputusasaan yang sulit dilafalkan.<br /><br /> “Aku tetap sayang kamu, apa pun keputusan yang akan kau ambil tentang hubunganmu dengan pacarmu.” Jawabku.<br /><br /> Aku berkata demikian sembari berharap ia mengerti bahwa aku benar-benar sedang menunggunya.<br /><br /> ***<br /><br /> Perlu kau ketahui, pengorbanan-pengorbanan kecil sudah aku lakukan. Aku sangat paham batas-batas sebuah persahabatan. Aku juga paham bagaimana aku memperlakukan orang yang kuanggap istimewa. Seandainya aku tidak memiliki perasaan khusus padanya, tak mungkin kukorbankan waktu hanya untuk mengirimkan belasan pesan singkat setiap hari sekadar bertanya hal-hal remeh, suatu pekerjaan yang tak pernah kulakukan meski terhadap teman akrabku sendiri. Aku hanya ingin ia tahu tanpa harus aku katakan padanya bahwa aku benar-benar menyukainya, setidaknya untuk sementara ini.<br /><br /> Siang dan malam terus memutar jarum jam. Aku merasa nyaman setiap kali bersama perempuan itu, suatu perasaan yang selama hampir dua tahun ini nyaris tidak ada padaku. Ya, aku sudah terlalu sering bersembunyi di balik kesibukan yang kubuat-buat. Dan kali ini aku berjumpa dengan perempuan yang menyimpan rahasia di balik mata sipitnya. <br /><br /> ***<br /><br /> Hari ini, sudah lebih dari satu bulan ia pulang ke kampung halamannya. Bapaknya sakit dan meninggal dua minggu lalu, katanya. Entah kenapa tiba-tiba pagi ini aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Ya, ia pernah mengajakku sebelumnya, jadi sangat mudah bagiku untuk menemukan rumah perempuan itu. Enam jam perjalanan harus kutempuh dari Jogja. Aku ingin melihat kondisinya secara langsung setelah lebih dari sebulan kami berpisah. Di perjalanan, pikiranku semakin tak jelas dan mulai memburuk setelah nomornya gagal kuhubungi. Apa yang terjadi? Apakah ia sengaja menghindariku pelan-pelan? Pikiran-pikiran itu kubiarkan bertaburan. Aku lelah.<br /><br /> Tepat tengah hari aku sampai di rumahnya. Ia persilahkan aku masuk. Aku tahu ia terkejut dengan kedatanganku yang di luar dugaannya. Tapi, kami pun segera berbincang kesana kemari. Saat itu, gugur sudah pikiran-pikiran buruk yang seminggu ini menguasai kepalaku. Ia masih tertawa renyah. Mata sipitnya masih menggodaku.<br /><br /> “Mungkin kedatanganku ini bukan pada waktu yang tepat,” aku mulai mengarahkan pada pembicaraan yang serius.<br /><br /> “Tapi setidaknya aku ingin jujur bahwa sudah lama aku ingin jalan serius denganmu.” Lanjutku.<br /><br /> Aku lihat matanya yang sipit itu menatap ke luar. Tangannya memainkan penggaris besi ke bibirnya. Ah, kenapa ia tak menatapku??<br /><br /> “Terima kasih kamu telah jujur, Mas. Sebenarnya dari awal aku tak punya perasaan apa-apa selain ingin berteman denganmu seperti juga aku berteman dengan yang lainnya.” Katanya, ringan.<br /><br /> Aku terperanjat. Dadaku serasa ditumbuk. Jawaban yang keluar dari mulutnya seperti hujan jarum. Aku berusaha menenangkan diri sambil terus memberi penjelasan padanya. Ruang tamu itu mendadak seperti tak berpenghuni.<br /><br /> “Bagaimana surat dari kampusmu?” aku berusaha mengalihkan perhatian, meski pikiranku masih memberontak.<br /><br /> “Nggak tahu, aku belum menerimanya.” Jawabnya ringan.<br /> “HPmu kok nggak bisa dihubungi?” tanyaku lagi.<br /> “HPku rusak.” Timpalnya.<br /><br /> Diam-diam aku mencium ada yang tak beres dengan semua ini. Aku menuduh pada masa lalu saat kami setiap hari selalu bersama. <br /><br /> Sore itu aku undur diri dari hadapannya. Tanpa aku bilang sebelumnya, aku kembali ke Jogja untuk mengambil surat dari kampusnya. Aku dengar surat itu sangat penting. Sesampainya di Jogja, aku cari temannya yang menyimpan surat itu. Aku bilang bahwa aku akan ke rumah perempuan itu lagi untuk mengantarkan surat itu. <br /><br /> Di tengah perjalanan itu ponselku bernyanyi. Sebuah panggilan masuk dari perempuan itu. Aku dengar suaranya yang sesak, mungkin menangis. Ia menanyakan surat yang aku bawa dan menyuruhku datang ke rumahnya pukul sepuluh malam. Ha?? Pasti temannya yang memberi tahu, pikirku. Dan pasti sangat tidak sopan menyuruh bertamu semalam itu? Belum hilang keterkejutanku, sebuah pesan singkat dari perempuan itu masuk. <br /><br /> “<span style="font-style:italic;">Aq gk ska caramu.Aq gk ska kmu.Jujur aja,aku pnya pcr skrg….</span>” Aku berhenti membaca sampai di situ. Kepalaku seperti tertimbun reruntuhan es batu, sangat dingin, hingga membuat pikiranku beku. Mataku jadi tak berselera lagi melihat sekitar. Perjalanan ke kota perempuan itu jadi semakin panjang rasanya.<br /><br /> Aku sampai di kota perempuan itu saat petang. Berjam-jam aku menunggu hingga pukul sepuluh. Aku mulai sadar, itu mungkin isyarat darinya agar aku tak perlu berlama-lama di hadapannya.<br /><br /> Aku berjalan menuju rumahnya melalui sebuah jalan kecil. Malam yang membungkus jalan menuju rumahnya itu seperti membuat gua; semakin ke dalam, semakin gelap. Aku lihat perempuan bermata sipit itu sudah berdiri di balik pagar besi. <br /><br /> “Mana suratnya?” katanya ketus.<br /> “Maaf…” belum sempat aku melanjutkan, tangannya sudah menyambar amplop berwarna putih di tanganku.<br /> “Terima kasih.” Katanya lagi, sembari memberikan punggungnya padaku. Aku tak bisa mencegah tubuhnya dilumat malam, seperti juga kubiarkan malam melakukan hal yang sama padaku. <br /><br /> Tiba-tiba aku merasa matanya yang sipit telah membuat jalan yang sempit.<br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Jombang, 9 September 2008</span><br /><span style="font-style:italic;">:u/ Pt</span><br /></span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-89842199735044278762008-07-29T16:58:00.002+07:002009-06-26T00:56:52.819+07:00Cerpen - Si PembualBagi kebanyakan warga desa itu, Sadirin adalah laki-laki muda yang suka bercerita. Umurnya baru sekitar 30 tahun. Dia biasa muncul tiba-tiba saat beberapa warga sedang berkumpul di pos ronda, di masjid, atau sekali-sekali ia muncul di pasar. Tapi, Sadirin juga lebih banyak menghilang mendadak.<br /><br />Setiap kali Sadirin yang belum punya pekerjaan tetap itu duduk di antara beberapa orang yang berkumpul, semua mata dan telinga pasti tertuju padanya. Tak peduli apakah orang-orang itu paham atau tidak dengan apa yang dibicarakannya, Sadirin akan terus bercerita; dari satu cerita ke cerita yang lainnya. <br /><br />Tapi diam-diam, Man Kholik punya pandangan lain tentang cerita-cerita Sadirin. Suatu malam, usai menunaikan shalat Isya di langgar, Markum bertanya kepada Man Kholik.<br /><span class="fullpost"><br />“Jancuk! Makin lama aku mendengar cerita Sadirin, makin kuat dugaanku kalau dia itu cuma membual.” Gerutu Man Kholik, menimpali pertanyaan Markum.<br /><br />“Nah, Man Kholik kan sama-sama nggak tahu kebenarannya tho?” balas Markum.<br /><br />“Apa yang mesti dipercaya dari Sadirin? Aku sudah nggak bakal percaya lagi.”<br /><br />“Iya, Man Kholik. Aku sebenarnya juga ragu-ragu. Dia bilang habis diajak pak bupati menghadap gubernur. Setelah aku telusuri, ternyata itu hanya karangan Sadirin sendiri. Dia cuma dengar ada orang bilang gitu, terus dia akui itu dia yang diajak sama pak bupati.”<br /><br />“Nah, kan. Apakah kamu masih percaya juga?” hardik Man Kholik.<br /><br />Barangkali bukan hanya Man Kholik dan Markum yang sudah tidak percaya lagi sama cerita-cerita Sadirin. Mungkin saja orang-orang sudah mulai meragukan kebenaran cerita-cerita Sadirin. <br /><br />Man Kholik berfikir, sebagai rakyat biasa, untuk ketemu pak camat saja susahnya sudah bukan kepalang, apalagi ketemu bupati dan seterusnya sampai presiden. Untuk ketemu kiai Nur Salam yang punya pondok di kampung sebelah atau pak camat pun rasanya susah, apalagi ketemu kiai atau pejabat pemerintah yang kekuasaannya cukup luas, seperti bupati sampai ke atas.<br /><br />“Aku bukannya tidak percaya kalau kiai Nur Salam itu pintunya selalu terbuka buat orang biasa semacam kita. Dia itu kiai. Sudah tugasnya kiai untuk menerima kedatangan kita yang mungkin perlu bantuan atau taushiyah-taushiyah-nya. Tapi sejak lima tahun lalu dia itu kan kiai politik. Baru ngurus partai di tingkat kecamatan saja dia sudah susah didatangi ke rumahnya. Pak camat juga gitu.” Kata Man Kholik.<br /><br />“Loh, kok bisa Man Kholik berpikiran gitu?” tanya Markum.<br /><br />“Ha..ha..ha..” Tawa Man Kholik pecah, sampai giginya yang tanggal di bagian depan itu terlihat seperti jendela terbuka. Lemak di tubuhnya seperti naik turun tersebab gerak tubuhnya.<br /><br />“Kau masih lupa, Markum?” tanya Man Kholik.<br /><br />Tangannya menyambar sebatang rokok filter, lalu membakarnyan.<br /><br />“Lupa apa?” Kening Markum berkerut, entah dia mencoba mengingat-ingat sesuatu atau memang tidak paham pertanyaan Man Kholik.<br /><br />“Waktu kita mau bangun masjid lima tahun lalu, siapa yang datang ke rumah kiai Nur Salam?” timpal Man Kholik.<br /><br />“Oh iya, saya ingat. Sampean dan saya. Terus?”<br /><br />“Ya, kamu ingat kan bagaimana kiai Nur Salam menerima kedatangan kita?”<br /><br />“Betul.”<br /><br />“Kamu masih ingat juga nggak waktu warga di sini kumpul di masjid untuk musyawarah tentang rencana renovasi masjid?”<br /><br />“Iya, Man.”<br /><br />“Nah, waktu musyawarah itu kan kita undang juga kiai Nur Salam. Bahkan dia bilang apa? Masjid itu rumah Tuhan. Sangat tidak lucu rumah kita justru lebih bagus dibanding rumah Tuhan. Dia bilang akan membantu sampai masjid kita benar-benar jadi, atau dia akan dekati bupati. Dia juga bilang punya kenalan dekat orang Departemen Agama di pusat sana. Dia bilang itu pada semua orang yang hadir lho. Jangan salah. Kata-kata itu pasti diingat sama orang-orang yang hadir. Bahkan aku dengar cerita kesanggupan kiai Nur Salam membantu pembangunan masjid itu sudah tersebar ke mana-mana. Tapi kamu tahu sendiri kan?”<br /><br />“Iya Man Kholik. Maksud Man Kholik masjid itu sampai sekarang masih mangkrak kan?”<br /><br />“Nah, benar itu, Kum. Rumahnya lebih bagus dari rumah juragan Kadir. Bangunan pondok dan sekolahannya sudah tiga lantai. Mobilnya sekarang ada tiga. Padahal waktu mau diadakan renovasi masjid itu, kamu tahu sendiri seperti apa bangunan rumah dan pondoknya? Mobilnya pun hanya satu, kijang kapsul.” Tubuh Man Kholik kembali bergoyang. Lemak-lemaknya kembali terlihat naik turun. Giginya yang tanggal terlihat seperti jendela yang dibiarkan terbuka. Tangan kanannya memukulkan sebatang rokok filter yang sudah hampir habis pada sebuah asbak. <br /><br />“Sekarang muncul Sadirin. Malah dia pernah bilang ke aku, dia itu beberapa kali sering ketemu Gus Dur. Dekat dengan kiai Hasyim Muzadi. Dekat dengan kiai-kiai besar di seluruh Jawa. Katanya dia sering dipanggil beliau-beliau.” Sambung Man Kholik.<br /><br />“Hmm..iya Man. Dia juga pernah bilang begitu ke saya dan orang-orang.” Kepala Markum mengangguk.<br /><br />“Itu namanya jancuk kan? Mau ngapusi orang banyak tho? Lalu apa untungnya dia ngomong begitu, ngalor ngidul? Menurutku, nggak ada yang dibanggakan. Orang bisa kenal dengan orang-orang penting itu ya biarkan saja. Itu biasa saja, bukan sesuatu yang hebat. Kalau dia mau bantu orang lain dengan modal perkenalananya itu, ya monggo. Tapi kalau untuk pamer-pameran, maaf aku tidak suka.”<br /><br />“Iya sih. Tapi si Sadirin itu dulunya kan mahasiswa, Man Kholik. Katanya dia aktif di organisasi apa gitu, aku nggak begitu ngerti. Dia rajin sowan ke kiai-kiai lho. Dia pernah perlihatkan fotonya sedang berdiri di belakang Gus Dur.” Kata Markum.<br /><br />“Nah, coba kamu pikir. Gus Dur itu kan dikenal banyak orang. Apalagi Susilo BambangYudhoyono. Menteri-menterinya. Gubernur. Bupati. Lha wong pelawak seperti Thukul saja banyak yang menggemarinya. Itu, si Oneng itu juga cantik dan banyak penggemarnya. Tapi, kalau sudah diundang ke mana-mana, apakah mereka kenal satu per satu orang-orang yang ada di sekitarnya? Lha wong seorang gembel saja bisa foto bareng presiden. Apa terus si gembel itu kita anggap sebagai orang penting juga?” timpal Man Kholik berapi-api.<br /><br />Markum melongo. Dia pikir ada benarnya juga kata-kata Man Kholik. Bisa saja orang semua foto bersama dengan orang penting. Tapi foto itu hanya tinggal kenangan.<br /><br />“Jadi, Man Kholik menyimpulkan tidak percaya sama sekali dengan cerita Sadirin?”<br /><br />“Ya. Betul itu. Aku tidak percaya dengan cerita-cerita Sadirin. Kita itu mbok ya jangan mudah terlena hanya gara-gara kenal dengan orang penting. Kalau Sadirin benar-benar kenal dengan mereka-mereka, kenapa dia hanya ceritakan itu kepada orang-orang di sini?”<br /><br />“Maksud Man Kholik?”<br /><br />Man Kholik kembali menyambar sebatang rokok filter dan membakarnya sebelum melanjutkan kata-katanya. Dia betulkan posisi duduknya. <br /><br />“Begini, kalau toh Sadirin itu kenal dekat dengan orang-orang penting, mbok ya jangan hanya besar di mulut. Masjid kita itu kan belum seratus persen jadi. Ini contoh kecil saja. Menurutku akan lebih baik kalau dia dekati kenalan-kenalannya. Minta mereka menyumbang untuk melanjutkan pembangunan masjid. Kita mestinya malu punya masjid kok sepertinya nggak diurus. Kalau kita mau ngurus sesuatu yang berhubungan dengan pejabat tapi kita nggak kenal salah satu dari orang-orang itu, jangan harap kita bisa jadi pesulap.”<br /><br />“Benar itu, Man.”<br /><br />“Dulu, aku itu dekat sekali dengan mantan bupati kita. Aku sering diajak jalan-jalan. Aku dikenalkan dengan pejabat-pejabat provinsi. Aku sering dimintai tolong untuk mengurus proyek ini, proyek itu. Waktu itu, kalau aku mau minta sumbangan atau butuh bantuan apa saja, tinggal ngomong ke bupati. Aku juga sering diajak sowan ke kiai-kiai di Langitan, Pasuruan, Liboyo, dan kota-kota lain. Kamu tahu nggak, kenapa saya dikenalkan dengan kiai-kiai itu?”<br /><br />Markum menggeleng.<br /><br />“Ya, maksudnya biar aku bisa jadi jembatan antara bupati dengan kiai-kiai itu. Tapi sayang, nggak lama kemudian pak bupati itu dipaksa mundur dua tahun lalu. Kamu dengar beritanya kan? Pak bupati dipaksa mundur karena tersangkut kasus korupsi. Tapi dia itu difitnah. Aku tahu sendiri karena aku sudah sangat dekat dengan beliau. Dengan keluarganya. Tapi, posisiku masih tetap aman. Setelah aku dikenalkan dengan kiai-kiai sepuh, makin lama aku juga makin dekat dengan beliau-beliau. Apalagi dengan keluarga Lirboyo, aku juga sudah seperti bagian dari keluarga mereka.”<br /><br />Markum termangu mendengar cerita-cerita Man Kholik. Malam semakin larut. Man Kholik terus melanjutkan cerita-ceritanya. Cerita-cerita Man Kholik makin lama makin melebar seperti air tumpah. Di benak Markum, cara Man Kholik menyampaikan cerita-ceritanya itu makin lama tak jauh beda dengan cara Sadirin mengobral cerita-ceritanya. Laki-laki tambun yang pernah diberhentikan sebagai guru sebuah madrasah karena dituduh melarikan salah satu siswinya itu seperti tape recorder yang terus mengeluarkan cerita-cerita dari masa lalunya. <br /><br />Bahkan Man Kholik berusaha meyakinkan Markum kalau sampai malam itu pun mantan bupatinya masih sering meminta tolong kepadanya. Kiai-kiai sepuh yang diceritakannya itu juga masih sering mengundang Man Kholik melalui telfon.<br /><br />Markum mulai tersadar oleh pertanyaannya sendiri, kalau Man Kholik kenal dengan mantan bupati dan kiai-kiai sepuh dari berbagai kota, kenapa pembangunan masjid di kampungnya tidak juga rampung? <br /><br /><em>*Jombang-Jogjakarta, 2008</em><br /><br />_____________________________<br /><em>Dimuat di Koran Merapi, Minggu 27 Juli 208</em><br /></span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-12634121979638753332008-07-13T21:30:00.000+07:002008-07-13T21:34:29.489+07:00Cerpen - Sebuah PaketHari ini Ratih ulang tahun. Ia telah membuat janji dengan teman-temannya, ia akan mentraktir mereka minum malam nanti. Beberapa hari sebelumnya, Ratih sudah mengatakan kepada teman-temannya bahwa saat ulang tahunnya nanti, ia tak ingin pesta yang banyak menghabiskan uang. Ia mempertimbangkan uangnya yang tersisa setelah dikirim ke keluarganya sebagai tambahan ongkos pengobatan ibunya. Teman-teman Ratih tidak mempersoalkan. <br />Ratih baru membuka kedua kelopak matanya saat pintu kamarnya diketuk berkali-kali dari luar. Ia tak biasa tidur siang. Tapi hari ini badannya terasa sangat capek. Ia beranjak dari kasurnya dan meraih gagang pintu. Seorang kurir menyerahkan sebuah paket untuk Ratih. Setelah membubuhkan tanda tangan dan memberi uang tips kepada kurir itu, Ratih kembali ke kasurnya. Rasa penasaran pun menggelitik benaknya. Tak ada nama pengirim atau alamat. Sampul paket itu hanya tertulis alamat tujuan; alamat dan nama terang Ratih. <br />Ratih menarik nafas dalam-dalam. Setelah itu, ia gelengkan kepalanya. Di wajahnya mulai tampak kepanikan. Kedua matanya seperti hendak meloncat keluar saat membaca tulisan dalam secarik surat. Dahinya mulai basah oleh keringat. Selembar kertas yang menampakkan bekas lipatan itu masih berada dalam genggamannya. Ia remas keras-keras kertas itu. Jari-jari tangan kiri Ratih mengoyak rambutnya yang lurus panjang. Beberapa helai pun gugur di atas kasur.<br />Ratih menemukan selembar kertas itu dalam sebuah paket yang baru saja ia terima. Begitu ia terima paket yang dibungkus kertas berwarna cokelat dari seorang kurir, ia langsung menyobek bungkusnya. Sekeping CD terbungkus plastik mika. Tak ada keterangan apa pun pada permukaan CD, kecuali setelah ia buka selembar kertas putih yang terlipat dan terbungkus bersama CD itu.<br />Aku bisa saja gandakan CD ini, tapi aku tak mau melakukannya. Terlalu mahal bagiku. Aku akan pasang ini di internet. Jutaan mata di seluruh dunia pasti akan menikmatinya. Jika kamu tidak ingin aku menyebarkannya, aku mempunyai syarat yang akan aku tentukan nanti.<br />Ratih merasa kesulitan mengenali siapa pengirim paket itu. Tak ada alamat atau tanda-tanda dari siapa paket itu dikirim. Selain itu, kalimat-kalimat yang tertera dalam kertas itu bukan tulisan tangan, melainkan diketik dengan komputer. Dalam benaknya, ia merasa ditelikung. Seseorang telah memasukkannya dalam sebuah perangkap, kemudian membunuhnya pelan-pelan. <br />Jantung Ratih berdetak lebih cepat dari gerak detik jam di dinding kamarnya. Ia robek kertas itu. Dilemparnya CD yang terbungkus mika itu ke sudut ruangan. Sebuah vas bunga kecil gugur ke lantai, terkena lemparan CD. Pikirannya tidak lagi membayangkan pesta ulang tahunnya nanti malam. Pikirannya justru membayangkan hanya dalam hitungan beberapa menit saja setelah itu telanjang tubuhnya yang ditindih seorang laki-laki akan dilihat oleh jutaan mata di seluruh dunia. Tapi laki-laki yang mana?<br />Ratih memeras seluruh ingatannya. Ia coba mengingat-ingat satu persatu beberapa laki-laki berdompet tebal yang telah mengencaninya, membawanya ke sebuah hotel di dalam atau luar kota, menuangkan bir untuknya, dan pada akhirnya menindih tubuhnya. Namun itu sia-sia. Sama saja bohong. Mustahil semua laki-laki itu bersepakat menjebaknya. Kalau harus mencurigai salah satunya, ia pun kesulitan. Semua laki-laki yang telah ia layani terlalu baik. Mereka merasa puas meniduri Ratih, menjilati bagian-bagian tubuhnya, hingga yang paling sensitif sekalipun. Tak ada yang mengeluh, apalagi memprotes pelayanan Ratih.<br />“Mungkinkah ada yang iri padaku?” pikiran Ratih mencoba membuat kemungkinan-kemungkinan. <br />Meski begitu, ia tak berhasil. Membuat kemungkinan adalah menduga-duga. Dan, sesuatu yang dihasilkan dari dugaan tak pernah berjalan mulus.<br />Ratih menyambar tiga ponselnya. Dari ponsel pertama yang ia pegang, ia hubungi beberapa orang. Orang pertama yang ia hubungi menjawab pertanyaan-pertanyaan Ratih. Begitu seterusnya. Ponsel kedua dan ketiga pun tak luput dari tangannya. Tak terdengar Ratih berbicara dengan nada datar atau bermanis-manja, seperti yang biasa ia lakukan kepada laki-laki yang hendak mengajaknya kencan. <br />Kepada setiap orang yang dapat ia hubungi, ia berbicara dengan suara membentak yang disertai dengan umpatan-umpatan, bahkan memaksa seolah-olah orang-orang itu harus mengiyakan. Ratih tiba-tiba menjadi seorang interogator yang memaksa tahanan untuk mengakui kesalahan, meskipun si tahanan itu tak bersalah. <br />Ratih tak menyerah. Setelah beberapa laki-laki yang ia hubungi tak memberikan jawaban memuaskan, ia pun menghubungi beberapa temannya yang berprofesi sama. Kali ini, cara bicara Ratih pun tak jauh beda. Bahkan ia sempat berdebat dengan salah satu temannya, Siska. <br />“Pasti dari kalian ada yang iri atau ingin mencelakakan gue, bukan?”<br />“Ya tuhan, sumpah gue nggak pernah punya niat sekongkol ngelakuin itu. Gila lo ya, Rat. Kapan kita pernah satu room bareng ngelayani tamu?”<br />“Sialan lo. Lo nggak mikir? Coba bayangkan kalau wajah gue muncul di internet dan dilihat jutaan mata kepala, lalu gue dikejar-kejar polisi, masuk penjara. Itu pasti gue yang pertama keliatan. Muka gue. Laki-laki semua pengecut.” Balas Ratih berapi-api, sembari menunjuk mukanya sendiri. Seolah-olah ia benar-benar berhadapan dengan Siska. <br />“Lo sudah cek ke Maya, Nelly, atau Nina?”<br />“Persetan dengan mereka.”<br />“Kenapa?”<br />“Mereka malah ngetawain gue, terutama si Nelly. Mereka bilang gue akan jadi terkenal. Benar-benar perek sialan lo semua.”<br />“Hey, lo juga perek tauk! Kita tau, lo yang paling sering dapet tamu. Tampang lo emang paling cakep di antara kita-kita. Tapi kita nggak pernah iri pada lo. Itu cara lo makan. Sama kayak kita-kita.” Entah Siska hanya menggertaknya atau memang benar-benar tersinggung dengan kata-kata Ratih.<br />Ratih terpaku mendengar kata-kata Siska. Seperti ada gasing yang berputar-putar dalam kepalanya, Ratih semakin pusing. <br />“Ah, sudah-sudah. Kalo emang wajah gue nampang di internet, biarin aja. Dunia emang bejat. Keparat semuanya. Cuh..”<br />Ratih memutus pembicaraan tanpa menunggu Siska memberi tanggapan. Kalau pun ia harus pergi secepatnya dari kota ini, ia tidak yakin ingin pulang ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Ia terlanjur yakin telanjang tubuhnya sudah dinikmati oleh jutaan mata di seluruh dunia. Orang-orang bisa menikmatinya melalui komputer, laptop, atau ponsel setelah mengunduhnya dari situs-situs porno di internet. Semua benda-benda itu sudah bukan barang aneh bagi orang-orang desa, tak terkecuali orang-orang di kampung Ratih. Video porno pun sudah bukan barang yang sulit dicari. Tinggal ditransfer ke dalam ponsel, semua orang bisa dengan leluasa memelototkan mata. <br />“Tapi bagaimana dengan keluarga gue di kampung?” pikir Ratih.<br />Tiba-tiba ia teringat ibunya yang sering sakit-sakitan. Selama ini, ibunya hanya tahu Ratih ke Jakarta untuk kuliah D3 di sebuah perguruan tinggi swasta. Ratih diwisuda lima bulan yang lalu. Setelah itu, ia meminta ijin kepada ibunya agar tetap tinggal di Jakarta. Ia akan mencari pekerjaan di sana. Sebagian dari gaji yang ia terima nanti akan disisihkan jika sewaktu-waktu ibunya sakit mendadak. Terakhir kali ia mengirim uang kepada ibunya belum genap seminggu lalu.<br />Tapi, sekarang segalanya seperti mimpi buruk di siang hari. Ratih merasa dirinya terlalu konyol. Ia persalahkan dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena telah menghujamkan pisau ke jantungnya sendiri dengan meminjam tangan orang lain. Mungkin tanpa disadari olehnya, salah seorang dari sekian laki-laki yang telah berkencan dengannya diam-diam merekam adegan panasnya di kamar yang rata-rata ber-AC. Atau, di salah satu hotel yang pernah ditempatinya berkencan sengaja dipasang kamera pengintai.<br />Ratih berjalan mengambil kembali CD yang telah dilemparkannya. <br />“Jika memang benar di dalamnya terdapat film mesum gue, gue hanya punya dua pilihan: gue akan simpan sendiri atau gue hancurin sekalian.” Gumamnya.<br />Ratih pun mengambil laptop dan menyalakannya. Setelah selesai loading, ia masukkan CD itu ke dalam CD Room. Dia klik file dalam CD itu dan terbukalah sebuah video player. Matanya seakan hendak meloncat dari kepalanya ketika ia melihat gerakan-gerakan dalam film itu; seekor kucing bernama Tom mengejar seekor tikus bernama Jerry.<br />“Keparat.” Gumam Ratih. “Kalau sampai ketahuan siapa yang mengirim CD ini, gue pasti akan maki habis-habisan dia. Tapi, siapa yang tahu alamat kos gue selain Siska dan Nelly?”<br />Belum sempat ia menggenapkan pertanyaannya, ponselnya bernyanyi.<br />“Hey, lo dah coba liat isi CD yang lo maksud itu?”<br />“Hmm….belom.” Ratih berbohong kepada si penelfon. <br />“Nah, itu dia.”<br />“Emang kenapa, Sis?”<br />“Nggak apa-apa. Eh, ntar malem jangan lupa ya janji lo mau traktir kita-kita.”<br />Ratih ingin tersenyum, tapi hatinya masih terasa kecut.<br /><br />*Jogja, 2008<br />_____________________________________________<br /><span style="font-style:italic;">Dimuat di HU Seputar Indonesia, Minggu 13 Juli 2008</span>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-21485832672007098872008-06-23T17:23:00.000+07:002008-06-23T17:37:48.622+07:00Dua Laki-LakiKepanikan menyembul di wajah Tanti. Tangan kanannya berkali-kali menimbang ponsel. Bibir tipisnya yang bawah terselip di antara gigi-giginya yang mirip biji mentimun. Tanti yakin sudah mencantumkan nama orang yang baru saja ia kirimi pesan singkat dengan benar. Tapi kenapa orang itu justru membalasnya dengan pertanyaan: maaf, ini siapa ya?<br /><br /> Tanti merasa sedang dipermainkan oleh Danang, laki-laki yang baru saja ia kirimi pesan singkat itu. Mungkinkah Danang sengaja ingin membuat bingung Tanti? Mungkinkah Danang hanya ingin menunjukkan cara yang halus untuk menolak berkomunikasi dengan Tanti? Atau, mungkinkah Danang tidak membaca dengan cermat siapa pengirim pesan singkat itu? Itu bisa saja terjadi ketika seseorang sedang sibuk atau pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Bisa jadi Danang sedang dalam situasi terakhir, pikir Tanti.<br /><br /> Tapi, Tanti tak mudah begitu saja menenangkan pikirannya. Ia heran. Setelah lama berfikir, ia pun mengirimkan pesan singkat keduanya.<br /><br /> “Maksud lo apa sih?”<br /><br /> Tanti sengaja meluncurkan pertanyaan itu. Mulai lahir perasaan jengkel dalam benaknya. Sangat tidak lucu ketika ia mengirim pesan singkat kepada orang yang jelas-jelas ia kenal dan mengenal dirinya, lalu orang itu tiba-tiba justru balik bertanya. Apalagi jika isi pesan itu sangat penting untuk segera dijawab.<br /><br /> Jika memang orang itu sedang sibuk sampai tak sempat membaca nama si pengirim, itu mungkin saja terjadi. Bisa jadi orang itu masih dalam perjalanan, sedang berbicara dengan orang lain, atau yang paling nahas nomor Tanti memang sudah terhapus dari daftar phonebook orang itu. Tapi bagaimana dengan Danang? Tadi pagi mantan kekasihnya itu masih sempat mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Tanti hanya sekadar bertanya kabar.<br /><br /> Tanti masih memendam pertanyaan-pertanyaan itu. Ia bukan orang yang mudah menyerah untuk mengejar sebuah jawaban. Apa pun akan dilakukannya hanya untuk menghilangkan rasa penasaran.<br /><br /> Pikiran Tanti buyar ketika ponselnya bernyanyi nyaring. Sebuah nomor ponsel yang tak dikenalnya terpampang di layar ponsel Tanti.<br /><br /> “Halo, maaf ini siapa ya? Tadi SMS ke nomor saya dua kali ya?” Suara orang itu terdengar agak keras melalui speaker ponsel Tanti. Suara yang datar.<br /><br /> “Lha ini siapa?”<br /> “Saya Danang.”<br /> “Danang siapa?”<br /><br /> Tanti makin tidak mengerti atau malah ia justru mencurigai Danang sedang mempermainkannya. Namun, setelah berbasa basi akhirnya ketegangan yang menyergap wajah Tanti mulai surut, seolah-olah ia kini tengah berbicara dengan kawan akrabnya.<br /><br /> Laki-laki itu juga bernama Danang. Lengkapnya Danang Setiabudi. Dia adalah kakak kelas Tanti sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Danang sudah seperti kakak sendiri bagi Tanti. Begitu juga Tanti di mata Danang, sudah seperti adiknya sendiri. Mereka biasa saling curhat tentang berbagai masalah, tak terkecuali masalah asmara. <br /><br /> Dulu, Tanti sempat digosipkan telah menjalin hubungan khusus secara diam-diam dengan Danang. Itu bukan cerita yang aneh. Mereka setiap hari selalu ke sana kemari bersama-sama. Di mana ada Tanti, hampir dipastikan di situ ada Danang. Bahkan kerap kali Danang mengantar Tanti pulang ke kosnya saat kebetulan mereka sama-sama tidak ada lagi jam kuliah.<br /><br /> Sebaliknya Tanti pun demikian. Ia juga kerap mengundang Danang datang ke kosnya untuk mengajaknya makan apabila jatuh tanggal tua. Apalagi mereka sama-sama berasal dari satu daerah, tepatnya salah satu kabupaten di pesisir pantai utara. Mereka berkenalan saat diadakan orientasi perkenalan kampus bagi mahasiswa baru, tepatnya di sebuah kampus swasta yang terletak di Semarang. <br /> <br /> ***<br /> Setelah putus dengan Danang, Tanti masih menjaga komunikasi. Begitu juga Danang. Awalnya mereka sepakat hanya perlu menyegarkan kembali hubungan asmara yang beberapa minggu belakangan ini sering timpang. Tanti menganggap perbedaan karakter antara ia dan Danang sudah sulit dicari titik temunya. Meski pada akhirnya mereka pun sama-sama menempuh jalannya sendiri-sendiri, namun keduanya tak lantas memutuskan hubungan persahabatan.<br /> <br /> Tanti mengenal Danang saat laki-laki itu datang ke tempat Tanti bekerja untuk suatu urusan. Nama lengkapnya Heru Danang Nugroho. Wajah Tanti yang oval ditambah dua lesung pada pipinya tanpa disadari telah memikat hati Danang. Mula-mula Danang sering datang ke kantor Tanti seminggu dua kali, kemudian laki-laki itu memberanikan diri mengajak Tanti untuk menikmati suasana malam di tengah kota. Tak jarang pula Danang mengajak Tanti nonton film atau sekadar makan malam di kaki lima.<br /> <br /> Entah siapa yang lebih dulu menyemai bibit-bibit cinta di hati mereka, yang jelas Danang dan Tanti pun sepakat untuk menjaga hubungan khusus di antara mereka. Secara bertahap Danang memperkenalkan Tanti kepada keluarganya. Bagi Tanti, keluarga Danang adalah keluarga yang yang cukup ramah. Mereka selalu memberi sambutan hangat setiap kali Tanti datang, dengan atau tanpa Danang. Tanti pun merasakan rumah keluarga Danang sudah seperti rumahnya sendiri.<br /><br /> Sayangnya, hubungan itu harus diakhiri. Tanti merasa lama-lama Danang terlalu mengekang. Meski ia tahu tujuan Danang adalah demi kebaikan mereka berdua, tetapi Tanti sudah berkali-kali menyatakan ia masih ingin bebas. Masih ada beberapa keinginan yang menghuni ruang kepalanya dan ia rasa itu harus terwujud. Tanti tahu apa yang mesti dilakukan.<br /> <br /> Sedangkan Danang justru berfikiran lain. Ia berharap hubungannya dengan Tanti bisa lebih diperjelas lagi; Danang menawarkan diri untuk melamar Tanti.<br /><br /> ***<br /> Mata Tanti berbinar. Ia tak mengira sosok Danang yang dulu sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri tiba-tiba datang pada saat-saat ia sendiri. Danang sudah seperti dilupakan, atau setidaknya laki-laki yang usianya lebih tua satu tahun dari Tanti itu sudah jarang berkomunikasi. Begitu pun sebaliknya. Mungkin mereka tidak bermaksud saling melupakan, terkecuali kesibukan masing-masinglah yang telah menciptakan dunia sendiri-sendiri.<br /><br /> Mulanya seminggu sekali Danang menelfon Tanti dan beberapa kali mereka saling kirim SMS. Makin lama Danang mulai sering mengontak Tanti. Hanya butuh waktu dua bulan, bagi Tanti dan Danang untuk saling menambatkan hati satu sama lain.<br /> <br /> ***<br />Suatu sore, Tanti tertawa sendiri di depan cermin yang tergantung di atas meja riasnya sampai gigi-giginya yang menyerupai biji mentimun itu kembali terihat.<br /> <br /> Sosok Danang yang sekarang menjadi kekasihnya masih mempermainkan pikirannya. Yang masih tersimpan dalam ingatannya, saat itu ia bermaksud menanyakan kabar adik Danang, mantan kekasihnya, yang kabarnya terserang gejala demam berdarah. Apa lacur, pesan singkat itu justru terkirim kepada Danang yang lain.<br /><br /> “Kok bisa?” Tanti luncurkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri, seolah-olah dirinya adalah orang lain. Dan Tanti masih terus memikirkan jawaban atas pertanyaan itu berkali-kali.<br /> <br />* 2008<br />_________________________________________<br /><em>dimuat Tabloid NOVA edisi 23-29 Juni 2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-49168569625753881312008-06-06T02:24:00.000+07:002008-06-06T02:25:34.179+07:00Ke Jakartadi <em>Ophaalsburg Juliana</em><br />kita akan bertemu<br />membincangkan kutuk waktu<br />membincangkan sisa usia<br /><br />: usia serupa sungai ini, <br /> kataku<br /><br />lalu aku mengajakmu<br />duduk sejenak <br />kita pilih sebuah bangku<br />dekat tugu yang masih membatu <br />sebelum kita lanjutkan perjalanan<br /><br />hari ini aku bertanya padamu:<br /><br />apakah kau lapar, yuliana?<br />tak ada lagi <em>Graanpakhuizen</em> <br />dan <em>Ostzydsche Pakhuizen</em><br />telah menjadi ruas jalan<br /><br /><em>*Jakarta, 04/06/2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-86331108798947549772008-06-06T02:21:00.000+07:002008-06-06T02:24:06.233+07:00Syahbandardi menara Syahbandar<br />kapal-kapal itu<br />berlabuh di Sunda Kelapa<br />mata semenyala mercusuar<br />disentak ombak<br />dan di sela rimbun bakau<br />beberapa orang pribumi berbisik:<br />"VOC datang !"<br /><br />di menara Syahbandar<br />kapal-kapal itu<br />berlabuh di Sunda Kelapa<br />membuang jangkar<br />sebelum meriam-meriam<br />diturunkan<br /> <br />dan,<br />di menara Syahbandar<br />kapal-kapal itu<br />berlabuh di Sunda Kelapa<br />seperti engkau<br />berlabuh di belukar mataku<br /><br /><em>*Jakarta, 04/05/2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-71348598433470301402008-06-06T02:19:00.000+07:002008-06-06T02:21:46.657+07:00Kota Tuadi rumahmu<br />ayahmu bercerita tentang Batavia<br />kota tua yang menyimpan gelisah<br /> dalam lembar buku sejarah<br />tak ada lagi benteng kota Batavia<br />di sepanjang Kali Besar<br /> : bangunan itu telah lupa<br /> pada dirinya sendiri<br />dan di Toko Merah <br />milik Baton Van Imhoff<br />dua kerajaan telah dipisahkan<br /><br />di rumahmu ini<br />kau suruh aku melihat sendiri<br />gedung-gedung <br />menggusur <br />batang-batang <br />menyapu <br />daun-daun<br />mencaci anak-anak yang <br />menantang hujan, matahari <br />bahkan mati<br /> <br />ya, ini kota tua<br />yang lupa di mana ia pernah<br />tinggalkan jejak-jejaknya<br /><br /><em>*Jakarta, 04/05/2008</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-22446832269540925942008-04-22T22:30:00.000+07:002008-04-22T22:32:34.380+07:00Laki-Laki itu Bernama MininLaki-laki penjual minuman di stasiun itu bernama Minin. Ia memiliki tubuh tegap. Daging-daging dalam tubuhnya terlihat padat. Sebuah topi warna hijau tercungkup di kepalanya. Hanya saja, warna kulitnya seperti daun pisang pembungkus arem-arem yang dijual di stasiun itu. Itu memang sudah bawaan. Tinggi tubuhnya nyaris menyodok pintu gerbong kereta. Saat kereta datang, ia dan beberapa pedagang lainnya segera bergegas masuk dari salah satu sisi pintu gerbong dan keluar dari pintu yang lain atau terkadang dari pintu yang sama. <br /><br />Namun, sebenarnya Minin adalah laki-laki pemalu jika sudah berhadapan atau berada di dekat perempuan yang menurutnya telah memikat hatinya. Mukanya akan tersipu. Matanya celingukan. Gerak tubuhnya belingsatan. Jantungnya berdegup. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya terdengar gugup. Tidak hanya itu, kedua telapak tangannya akan mengeluarkan air dingin seperti air yang keluar dari dahinya. Akan tetapi tak pernah terlintas dalam benak Minin bahwa sebagian orang pernah berpendapat itu adalah salah satu tanda-tanda jatuh cinta!<br />Biasanya, Minin akan merunduk bila berpapasan dengan perempuan-perempuan yang menggetarkan hatinya. Tak cukup satu perempuan. Setidaknya sudah ada lima nama perempuan yang beredar dari mulut ke mulut para pedagang di stasiun itu. Kelima-limanya penah membantu berjualan di stasiun tempat Minin berjualan. Sayangnya, dari kelima nama perempuan itu tak satu pun pernah terlihat berbincang lama dengannya. Entah, apa yang sedang bermain dalam pikiran perempuan-perempuan itu. <br /><br />Suatu hari, Minin ketahuan mengintai Yanti, keponakan salah seorang pemilik kios di seberang stasiun. Begitulah menurut berita yang tersebar. Yanti sudah lima hari menjaga kios milik buleknya. Untuk ke sekian kalinya, Yanti adalah adalah gadis keenam yang mengganggu pikiran Minin.<br /><br />“Naksir keponakannya Warti, ya? Kok dari tadi kau awasi terus dia?” tegur seorang ibu muda yang berjualan intip. Sepertinya perempuan paruh baya itu sudah mengenal gadis di kios itu.<br /><br />Minin tersipu. “Hhhh, tidak mbak yu.” Katanya.<br /><br />Minin berlalu dari tempat itu tanpa mengatakan apa pun. Mulutnya yang seharusnya berteriak menawarkan minuman kaleng kepada orang-orang yang duduk di ruang tunggu stasiun itu justru tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Stasiun yang riuh itu mendadak sunyi. Aneka minuman kaleng yang menggantung di tubuhnya tidaklah seberat rasa malu yang harus ditanggungnya.<br /><br />“Apa kata orang-orang nanti? Mereka pasti akan mengolok-olokku. Tapi, gadis itu manis juga. Hmmm,” gumam Minin.<br /><br />Esok harinya, Minin mencari tempat yang lain. Meski di tempat itu Minin tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, hatinya sudah senang. Bibirnya tersenyum. Sesekali kepalanya menengok ke belakang. Ia tidak ingin peristiwa kemarin terulang lagi; kepergok mengintip wajah gadis di kios bulek Warti.<br /><br />Tapi, jika tupai yang pandai meloncat saja bisa sesekali jatuh, apalagi Minin yang bukan tupai? Ibu muda yang menjual intip memergokinya seperti hari sebelumnya. <br />“Nah, ngapain juga kamu di sini, bukannya jualan? Pasti kamu mengawasi gadis itu lagi, kan?” hardik ibu itu.<br /><br />Minin tak menjawab. Mukanya merah padam. Jika sekali saja ia kepergok, sekali memberi alasan akan beres. Tapi jika sudah dua kali dan seterusnya, orang akan bertanya-tanya. Dan pertanyaan-pertanyaan tidak selalu dapat dipuaskan oleh satu jawaban.<br /><br />“Sini, aku kasih tahu, ya. Gadis itu namanya Yanti. Dia baru lulus SMEA loh. Kalau kamu naksir, ajak dia kenalan dulu.” Saran ibu penjual intip itu kepada Minin. Ibu itu masih terbiasa menyebut SMK dengan SMEA.<br /><br />“Ssstttt...” Minin menempelkan telunjuknya ke bibirnya. Ibu penjual intip itu mengerti isyarat Minin.<br /><br />“Ah, tidak mbakyu. Saya tidak ada maksud apa-apa kok. Saya hanya istirahat di sini.” Kilah Minin.<br /><br />“Bener loh, jangan bohong. Orang yang tidak jujur itu rejekinya seret.”<br /><br />“Tapi orang yang pinter bohong juga gak miskin-miskin kok. Hehehehheee.”<br /><br />“Hush. Kamu itu dikasih tahu kok malah ketawa. Ya sudah, kalau nanti kamu kalah duluan sama yang lain, jangan menyesal ya.”<br /><br />“Memangnya kenapa mbakyu?”<br /><br />“Gadis manis itu seperti gula pasir. Tak ada semut yang tak mau mengerubutinya.”<br /><br />“Memangnya sampeyan tahu banyak tentang dia?”<br /><br />“Nah, iya tho?”<br /><br />“Iya, kenapa mbakyu?”<br /><br />“Kamu sudah mulai tanya-tanya, kan? Kalau orang sudah mulai tanya-tanya, tandanya ada apa-apa.”<br /><br />“Ah, kan sudah saya bilang, saya ndak ada maksud apa-apa.”<br /><br />“Ya sudah. Bener ndak ada apa-apa?”<br /><br />“Hmmm,iya, iya.” Minin seperti acuh ketika menjawab “iya.” Barangkali itu dimaksudkan agar ibu penjual intip itu puas dan tidak akan berkomentar macam-macam.<br />“Jangan iya iya terus.”<br /><br />“Terus apa, mbakyu?”<br /><br /> “Ah, aku tahu sekarang. Kamu pasti grogi ya? Belum apa-apa kok sudah minder. Perempuan itu suka dengan laki-laki yang tidak grogi. Makanya, cepat kamu ajak kenalan si Yanti.”<br /><br />Minin memang tak yakin hatinya tertambat pada Yanti. Baru tiga hari matanya meringkus sosok Yanti, ah, alangkah cepatnya! Ia seka keringat yang merembes di mukanya. Tapi bayangan wajah Yanti yang bulat, matanya yang menyala, serta rambutnya yang sebahu itu tidak bisa diseka dari ingatannya.<br /><br />Ibu penjual intip itu sudah berlalu. Minin bangkit dan seperti biasanya ia berjalan ke sana ke mari menawarkan minuman kaleng sembari menunggu kedatangan kereta. Angin bebas menerobos ruang tunggu stasiun. Muka Minin merasakan lembut semilirnya.<br /><br />Sore itu, rangkaian kereta api dari Surabaya akan tiba di stasiun tempat Minin menjajakan minuman. Menurut keterangan petugas perjalanan kereta api, kereta itu akan berhenti agak lama karena menunggu kereta eksekutif yang menyusul di belakang. Suasana di stasiun itu tak jauh beda dengan pasar.<br /><br />Esoknya lagi, di hari ketiga sejak mata Minin meringkus sosok Yanti, Minin mencoba memberanikan diri datang ke kios bulek Warti. Disusunnya sebuah rencana. Ia akan membeli dua batang rokok kretek. “Mumpung kereta belum datang, waktuku belum telat untuk mengajak gadis itu berkenalan.” batin Minin.<br /><br />Mimin pun mencari akal bagaimana caranya agar ia bisa berlama-lama di kios itu. Ia juga berpikir bagaimana membuka percakapan yang berkaitan dengan pribadi Yanti, bukan hanya percakapan jual beli. <br /><br />“Nama sampeyan siapa, mbak? Ehm, ehm.” Ah, Minin merasa pertanyaan itu kurang pas. Terlalu kaku. Ia mencoba dengan pertanyaan lain: “Enaknya bagaimana aku memanggil sampeyan, ya, mbak?” Ah, pertanyaan itu juga terdengar berbelit. Mbulet. Bahkan sebelum Minin bertanya seperti itu, ia sudah membayangkan Yanti akan menertawakannya. Minin merencanakan pertanyaan lain: “Sudah lama jaga kios, mbak?” Tapi, sejurus kemudian Minin juga berpikir; “Apakah Yanti akan berterus terang perihal pribadinya, misalnya di mana rumahnya? Siapa dan apa pekerjaan pacarnya, sementara sudah cukup jelas Yanti baru pertama kali itu berkenalan dengan Minin?” Minin juga gundah: “Apakah ibu penjual intip yang kemarin memergokinya sudah mengadu ke Yanti?” Minin pun sampai pada pertanyaan: “Pikiran apa yang akan melintas di kepala Yanti setelah ia berkenalan dengannya?”<br /><br />Minin merasakan pertanyaan-pertanyaan itu telah mengepung kepalanya.<br /><br />Jantung Minin mulai berdebar sesaat sebelum langkahnya terkayuh menuju kios dimana Yanti hari itu menjaganya sendirian. Benaknya was-was. Jangan-jangan ibu penjual intip itu juga akan mengintipnya lagi. Klop sudah! Penjual intip sekaligus hobi mengintip.<br /><br />Minin letakkan barang dagangannya di dekat loket peron. Orang-orang di situ sudah hafal betul siapa Minin. Sebaliknya, Minin pun percaya orang-orang di situ baik semua. “Titip sebentar, Om!” begitu biasanya Minin memanggil orang-orang yang ada di stasiun itu, bukan “Om” dalam pengertian sebenarnya, melainkan hanya sebatas sapaan.<br /><br />Jarak kios itu dengan loket peron berkisar dua puluh lima meter, terpisah oleh jalan raya. Jantung Minin makin berdebar kencang. Ia coba kendalikan detak jantung dan laju pikirannya yang mulai tak beraturan. Ya, hatinya berbunga-bunga. Pikirannya tak tentu, membayangkan percakapan antara dirinya dengan Yanti. Jika sudah akrab, Minin ingin Yanti tahu bahwa dirinya adalah laki-laki yang bisa dibanggakan. Tapi, batin Minin menepis kemungkinan-kemungkinan itu. Ia sadar selama ini dirinya belum bisa menjadi sosok laki-laki yang pantas dibanggakan. Kelima perempuan yang pernah dia ajak kenalan tak pernah betah bercakap di dekat Minin. Bukan apa-apa, tetapi seringkali Minin tampil salah tingkah di hadapan mereka. Parahnya, bicaranya selalu gagap dan makin lama meracau tak karuan. <br /><br />Hari itu Minin berharap keberaniannya akan tumbuh. “Perempuan itu suka dengan laki-laki yang tidak grogi.” Kalimat yang pernah keluar dari mulut ibu penjual intip itu masih diingat Minin dengan baik.<br /><br />Minin bergegas mendekati kios yang dijaga oleh Yanti. Laju pikirannya semakin lebih cepat dari langkahnya. Ia menyeberang jalan raya itu penuh dengan rencana-rencana. Tapi, beberapa meter menjelang Minin sampai di kios itu, matanya tak lagi melihat sosok Yanti. Kios itu bahkan tak tampak lagi. Segalanya lenyap dan secepatnya berubah menjadi gelap. Kepalanya terasa pusing. Namun, telinganya masih bisa mendengar orang-orang berujar. Ia merasakan tubuhnya ringan, sangat ringan saat digotong menepi. Di saat itu ia mendengar suara seorang gadis‘”suara itu belum pernah dikenalnya‘”berteriak mengingatkan tukang ojek yang mangkal di seberang stasiun itu untuk mengejar dua pelajar yang membawa lari motor mereka. <br /><br />Warna langit dalam pandangan Minin masih tetap gelap!<br /><br /> <br /><br />* Jogja, 04/2008<br /><br />_____________________________<br /><br />(<em>dimuat</em> Jurnal Nasional, <em>Minggu 20 April 2008)</em>fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-60377362665914596322008-04-02T04:34:00.001+07:002008-04-02T04:39:47.104+07:00Lakilaki Berambut Ikal<em><strong>(jogja-01/04/08)</strong></em><br />suatu petang. seorang lakilaki berambut ikal. mengendap menerobos. pintu belakang rumahku. ia menyergapku dalam sebuah percakapan. “Gawat! Tom berada di mulut sapi!” katanya. “Apakah kau sudah bicara dengan Marselin?” tanyaku. “Tidak! Tapi ibunya sudah tahu. Dia panik sekali.” jelasnya.<br />aku sudah tahu lakilaki berambut ikal itu mulai membual. “Biarkan Tom berada di mulut sapi. Tadi pagi ibunya sudah menangis. Tom tercebur dalam adonan roti yang sedang dibuat oleh ibunya. Ibunya baru sadar saat mengeluarkan adonan roti itu dari oven.” kataku.<br />lakilaki berambut ikal itu tertawa terpingkalpingkal. mulutnya terbuka lebar. aku melihat Tom menjerit di mulut lakilaki itu.fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-25217310087423147102008-02-29T09:30:00.002+07:002008-09-23T06:11:16.530+07:00AKU MALU MENULIS......AKU MALU MENULIS PUISI LAGI SETELAH KEKASIHKU PERGI TERSEBAB PADA SUATU HARI AKU TELAH MENULIS SEBUAH PUISI TENTANG LAUT SEBAGAI KENANG-KENANGAN UNTUKNYA <br /><br />kau gambar laut<br />penuh amuk ombak<br />di dalam kepalamu<br /><br /><em>*2008</em><br />_____________________<br />*maaf, berhubung judulnya ga muat, terpaksa deh gw taroh di body blog...ga papa ya, tapi ini bukan Haiku loh!fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-10758426385710727242007-12-26T14:18:00.000+07:002008-09-23T06:11:16.531+07:00Tentang Perempuan yang Ingin Kau Kenal__dongeng tidur <em>moh. fahmi amrulloh</em><br /><br /><br />lungsin, seutas benang di kain tenunan<br />tengah kau tatap dalamdalam<br /> nanap matamu<br /> mencoba menguak kisah sang gadis<br />kuceritakan tentang sumbi di alam pasundan<br />menghibur diri bersama rasa cinta yang tak pasti<br /> kau bersikukuh<br /> akan jadi pendamping bagi sang gadis<br /> walau kisah penuh gerimis<br />lungsin, seutas benang di kain tenunan<br />lusa hari adalah perjumpaan<br /> sementara matamu masih mencecar setiap ujar<br /> kusematkan kisah tentang tumang<br /> pangeran menjelma anjing<br />dengarlah,<br />kidung itu membawamu ke alam mimpi<br />sang gadis tak mau bertemu di hari pasti<br /><br />SudutBumi, 2006<br />________________________________________<br />puisi ini ditulis oleh Dian Hartati dan masuk dalam antologi fordisastra. trims ynfahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-91435916344066701902007-10-25T18:09:00.000+07:002008-09-23T06:11:16.531+07:00Menanti Kereta di Stasiun Balapandi stasiun balapan<br />kereta yang datang satu satu<br />seperti udara yang kau hirup<br />melewati rel sampai ke paruparu:<br />stasiun pemberhentian sementara<br />sambil menanti keberankatan selanjutnya<br />mencitakan jarak<br />menuju arah entah<br />besibesi pasi<br />juga temboktembok pucat<br /><br />diamdiam ada yang khawatir<br />dengan alamat di tangan<br />mungkin aku<br />tentang kereta yang tak juga <br />datang<br /><br /><em>solo, 2005</em><br />____________________________<br />dimuat HU Surabaya Pos, 17 April 2005fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-30361947607805889022007-10-25T18:05:00.000+07:002008-09-23T06:11:16.532+07:00Menanam Rindu di Matamuhampir tak dapat kualamatkan<br />ketika petakpetak itu menjadi pemukiman<br />yang rajin kau kunjungi<br />setiap waktu:<br />"aku ingin menanam rindu di matamu."<br /><br />aku menjadi liar dalam pedar<br />seperti kau yang kian binal<br />pandai memikat syahwat<br /><br />maaf syahwatku bisu<br />maaf syahwaktu buta<br />maaf syahwaktu lumpuh<br /><br />aku masih ingin sekali lagi<br />dan selagi kau melintas di sini<br />dengan selembar angin taman kota<br />kenapa kau tak singgah jua?<br />barang sesaat<br />barang sekala, sebab:<br />"aku masih ingin bercocok di matamu<br />yang ladang itu."<br /><br />tapi ladangmu tak seperti dulu, kini<br />setelah kelebatmu yang terakhir<br />mengentak pemukiman itu. kemarilah<br />meski ladangmu mulai kering<br />dan kau jadi layu sendiri<br />biar kutanam rindu ini <br />di jantungmu saja<br /><br /><em>*februari, 2005</em><br />____________________________<br />dimuat HU Surabaya Pos, 17 April 2005fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28207323.post-14034058423665948912007-10-25T17:59:00.000+07:002008-09-23T06:11:16.532+07:00Perjalananbis ini membawa kami <br />menikmati perjalanan<br />menuju tanah asing<br />melewati rumahrumah<br />dan pohonpohon berdiri ramah, selalu<br />jalan itu melahirkan jarak<br />seperti juga engkau yang pernah<br />menciptakan jejak<br /><br /><em>jombang-solo, 2005</em><br /><br />_________________<br />dimuat HU Surabaya Post 17 April 2005fahmi amrullohhttp://www.blogger.com/profile/15975540874628602003noreply@blogger.com0