22.4.08
2 komentar

Laki-Laki itu Bernama Minin

Laki-laki penjual minuman di stasiun itu bernama Minin. Ia memiliki tubuh tegap. Daging-daging dalam tubuhnya terlihat padat. Sebuah topi warna hijau tercungkup di kepalanya. Hanya saja, warna kulitnya seperti daun pisang pembungkus arem-arem yang dijual di stasiun itu. Itu memang sudah bawaan. Tinggi tubuhnya nyaris menyodok pintu gerbong kereta. Saat kereta datang, ia dan beberapa pedagang lainnya segera bergegas masuk dari salah satu sisi pintu gerbong dan keluar dari pintu yang lain atau terkadang dari pintu yang sama.

Namun, sebenarnya Minin adalah laki-laki pemalu jika sudah berhadapan atau berada di dekat perempuan yang menurutnya telah memikat hatinya. Mukanya akan tersipu. Matanya celingukan. Gerak tubuhnya belingsatan. Jantungnya berdegup. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya terdengar gugup. Tidak hanya itu, kedua telapak tangannya akan mengeluarkan air dingin seperti air yang keluar dari dahinya. Akan tetapi tak pernah terlintas dalam benak Minin bahwa sebagian orang pernah berpendapat itu adalah salah satu tanda-tanda jatuh cinta!
Biasanya, Minin akan merunduk bila berpapasan dengan perempuan-perempuan yang menggetarkan hatinya. Tak cukup satu perempuan. Setidaknya sudah ada lima nama perempuan yang beredar dari mulut ke mulut para pedagang di stasiun itu. Kelima-limanya penah membantu berjualan di stasiun tempat Minin berjualan. Sayangnya, dari kelima nama perempuan itu tak satu pun pernah terlihat berbincang lama dengannya. Entah, apa yang sedang bermain dalam pikiran perempuan-perempuan itu.

Suatu hari, Minin ketahuan mengintai Yanti, keponakan salah seorang pemilik kios di seberang stasiun. Begitulah menurut berita yang tersebar. Yanti sudah lima hari menjaga kios milik buleknya. Untuk ke sekian kalinya, Yanti adalah adalah gadis keenam yang mengganggu pikiran Minin.

“Naksir keponakannya Warti, ya? Kok dari tadi kau awasi terus dia?” tegur seorang ibu muda yang berjualan intip. Sepertinya perempuan paruh baya itu sudah mengenal gadis di kios itu.

Minin tersipu. “Hhhh, tidak mbak yu.” Katanya.

Minin berlalu dari tempat itu tanpa mengatakan apa pun. Mulutnya yang seharusnya berteriak menawarkan minuman kaleng kepada orang-orang yang duduk di ruang tunggu stasiun itu justru tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Stasiun yang riuh itu mendadak sunyi. Aneka minuman kaleng yang menggantung di tubuhnya tidaklah seberat rasa malu yang harus ditanggungnya.

“Apa kata orang-orang nanti? Mereka pasti akan mengolok-olokku. Tapi, gadis itu manis juga. Hmmm,” gumam Minin.

Esok harinya, Minin mencari tempat yang lain. Meski di tempat itu Minin tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, hatinya sudah senang. Bibirnya tersenyum. Sesekali kepalanya menengok ke belakang. Ia tidak ingin peristiwa kemarin terulang lagi; kepergok mengintip wajah gadis di kios bulek Warti.

Tapi, jika tupai yang pandai meloncat saja bisa sesekali jatuh, apalagi Minin yang bukan tupai? Ibu muda yang menjual intip memergokinya seperti hari sebelumnya.
“Nah, ngapain juga kamu di sini, bukannya jualan? Pasti kamu mengawasi gadis itu lagi, kan?” hardik ibu itu.

Minin tak menjawab. Mukanya merah padam. Jika sekali saja ia kepergok, sekali memberi alasan akan beres. Tapi jika sudah dua kali dan seterusnya, orang akan bertanya-tanya. Dan pertanyaan-pertanyaan tidak selalu dapat dipuaskan oleh satu jawaban.

“Sini, aku kasih tahu, ya. Gadis itu namanya Yanti. Dia baru lulus SMEA loh. Kalau kamu naksir, ajak dia kenalan dulu.” Saran ibu penjual intip itu kepada Minin. Ibu itu masih terbiasa menyebut SMK dengan SMEA.

“Ssstttt...” Minin menempelkan telunjuknya ke bibirnya. Ibu penjual intip itu mengerti isyarat Minin.

“Ah, tidak mbakyu. Saya tidak ada maksud apa-apa kok. Saya hanya istirahat di sini.” Kilah Minin.

“Bener loh, jangan bohong. Orang yang tidak jujur itu rejekinya seret.”

“Tapi orang yang pinter bohong juga gak miskin-miskin kok. Hehehehheee.”

“Hush. Kamu itu dikasih tahu kok malah ketawa. Ya sudah, kalau nanti kamu kalah duluan sama yang lain, jangan menyesal ya.”

“Memangnya kenapa mbakyu?”

“Gadis manis itu seperti gula pasir. Tak ada semut yang tak mau mengerubutinya.”

“Memangnya sampeyan tahu banyak tentang dia?”

“Nah, iya tho?”

“Iya, kenapa mbakyu?”

“Kamu sudah mulai tanya-tanya, kan? Kalau orang sudah mulai tanya-tanya, tandanya ada apa-apa.”

“Ah, kan sudah saya bilang, saya ndak ada maksud apa-apa.”

“Ya sudah. Bener ndak ada apa-apa?”

“Hmmm,iya, iya.” Minin seperti acuh ketika menjawab “iya.” Barangkali itu dimaksudkan agar ibu penjual intip itu puas dan tidak akan berkomentar macam-macam.
“Jangan iya iya terus.”

“Terus apa, mbakyu?”

“Ah, aku tahu sekarang. Kamu pasti grogi ya? Belum apa-apa kok sudah minder. Perempuan itu suka dengan laki-laki yang tidak grogi. Makanya, cepat kamu ajak kenalan si Yanti.”

Minin memang tak yakin hatinya tertambat pada Yanti. Baru tiga hari matanya meringkus sosok Yanti, ah, alangkah cepatnya! Ia seka keringat yang merembes di mukanya. Tapi bayangan wajah Yanti yang bulat, matanya yang menyala, serta rambutnya yang sebahu itu tidak bisa diseka dari ingatannya.

Ibu penjual intip itu sudah berlalu. Minin bangkit dan seperti biasanya ia berjalan ke sana ke mari menawarkan minuman kaleng sembari menunggu kedatangan kereta. Angin bebas menerobos ruang tunggu stasiun. Muka Minin merasakan lembut semilirnya.

Sore itu, rangkaian kereta api dari Surabaya akan tiba di stasiun tempat Minin menjajakan minuman. Menurut keterangan petugas perjalanan kereta api, kereta itu akan berhenti agak lama karena menunggu kereta eksekutif yang menyusul di belakang. Suasana di stasiun itu tak jauh beda dengan pasar.

Esoknya lagi, di hari ketiga sejak mata Minin meringkus sosok Yanti, Minin mencoba memberanikan diri datang ke kios bulek Warti. Disusunnya sebuah rencana. Ia akan membeli dua batang rokok kretek. “Mumpung kereta belum datang, waktuku belum telat untuk mengajak gadis itu berkenalan.” batin Minin.

Mimin pun mencari akal bagaimana caranya agar ia bisa berlama-lama di kios itu. Ia juga berpikir bagaimana membuka percakapan yang berkaitan dengan pribadi Yanti, bukan hanya percakapan jual beli.

“Nama sampeyan siapa, mbak? Ehm, ehm.” Ah, Minin merasa pertanyaan itu kurang pas. Terlalu kaku. Ia mencoba dengan pertanyaan lain: “Enaknya bagaimana aku memanggil sampeyan, ya, mbak?” Ah, pertanyaan itu juga terdengar berbelit. Mbulet. Bahkan sebelum Minin bertanya seperti itu, ia sudah membayangkan Yanti akan menertawakannya. Minin merencanakan pertanyaan lain: “Sudah lama jaga kios, mbak?” Tapi, sejurus kemudian Minin juga berpikir; “Apakah Yanti akan berterus terang perihal pribadinya, misalnya di mana rumahnya? Siapa dan apa pekerjaan pacarnya, sementara sudah cukup jelas Yanti baru pertama kali itu berkenalan dengan Minin?” Minin juga gundah: “Apakah ibu penjual intip yang kemarin memergokinya sudah mengadu ke Yanti?” Minin pun sampai pada pertanyaan: “Pikiran apa yang akan melintas di kepala Yanti setelah ia berkenalan dengannya?”

Minin merasakan pertanyaan-pertanyaan itu telah mengepung kepalanya.

Jantung Minin mulai berdebar sesaat sebelum langkahnya terkayuh menuju kios dimana Yanti hari itu menjaganya sendirian. Benaknya was-was. Jangan-jangan ibu penjual intip itu juga akan mengintipnya lagi. Klop sudah! Penjual intip sekaligus hobi mengintip.

Minin letakkan barang dagangannya di dekat loket peron. Orang-orang di situ sudah hafal betul siapa Minin. Sebaliknya, Minin pun percaya orang-orang di situ baik semua. “Titip sebentar, Om!” begitu biasanya Minin memanggil orang-orang yang ada di stasiun itu, bukan “Om” dalam pengertian sebenarnya, melainkan hanya sebatas sapaan.

Jarak kios itu dengan loket peron berkisar dua puluh lima meter, terpisah oleh jalan raya. Jantung Minin makin berdebar kencang. Ia coba kendalikan detak jantung dan laju pikirannya yang mulai tak beraturan. Ya, hatinya berbunga-bunga. Pikirannya tak tentu, membayangkan percakapan antara dirinya dengan Yanti. Jika sudah akrab, Minin ingin Yanti tahu bahwa dirinya adalah laki-laki yang bisa dibanggakan. Tapi, batin Minin menepis kemungkinan-kemungkinan itu. Ia sadar selama ini dirinya belum bisa menjadi sosok laki-laki yang pantas dibanggakan. Kelima perempuan yang pernah dia ajak kenalan tak pernah betah bercakap di dekat Minin. Bukan apa-apa, tetapi seringkali Minin tampil salah tingkah di hadapan mereka. Parahnya, bicaranya selalu gagap dan makin lama meracau tak karuan.

Hari itu Minin berharap keberaniannya akan tumbuh. “Perempuan itu suka dengan laki-laki yang tidak grogi.” Kalimat yang pernah keluar dari mulut ibu penjual intip itu masih diingat Minin dengan baik.

Minin bergegas mendekati kios yang dijaga oleh Yanti. Laju pikirannya semakin lebih cepat dari langkahnya. Ia menyeberang jalan raya itu penuh dengan rencana-rencana. Tapi, beberapa meter menjelang Minin sampai di kios itu, matanya tak lagi melihat sosok Yanti. Kios itu bahkan tak tampak lagi. Segalanya lenyap dan secepatnya berubah menjadi gelap. Kepalanya terasa pusing. Namun, telinganya masih bisa mendengar orang-orang berujar. Ia merasakan tubuhnya ringan, sangat ringan saat digotong menepi. Di saat itu ia mendengar suara seorang gadis‘”suara itu belum pernah dikenalnya‘”berteriak mengingatkan tukang ojek yang mangkal di seberang stasiun itu untuk mengejar dua pelajar yang membawa lari motor mereka.

Warna langit dalam pandangan Minin masih tetap gelap!



* Jogja, 04/2008

_____________________________

(dimuat Jurnal Nasional, Minggu 20 April 2008)

2 komentar:

L. Pralangga said...

Gimana khabarnya mas Minin hari ini? :-)

Kristina Dian Safitry said...

salam buat minin ya mas? he..he...becanda. apakah aku bisa membuat cerpen sebagus ini yach?

 
Toggle Footer
Top