Bagi kebanyakan warga desa itu, Sadirin adalah laki-laki muda yang suka bercerita. Umurnya baru sekitar 30 tahun. Dia biasa muncul tiba-tiba saat beberapa warga sedang berkumpul di pos ronda, di masjid, atau sekali-sekali ia muncul di pasar. Tapi, Sadirin juga lebih banyak menghilang mendadak.
Setiap kali Sadirin yang belum punya pekerjaan tetap itu duduk di antara beberapa orang yang berkumpul, semua mata dan telinga pasti tertuju padanya. Tak peduli apakah orang-orang itu paham atau tidak dengan apa yang dibicarakannya, Sadirin akan terus bercerita; dari satu cerita ke cerita yang lainnya.
Tapi diam-diam, Man Kholik punya pandangan lain tentang cerita-cerita Sadirin. Suatu malam, usai menunaikan shalat Isya di langgar, Markum bertanya kepada Man Kholik.
“Jancuk! Makin lama aku mendengar cerita Sadirin, makin kuat dugaanku kalau dia itu cuma membual.” Gerutu Man Kholik, menimpali pertanyaan Markum.
“Nah, Man Kholik kan sama-sama nggak tahu kebenarannya tho?” balas Markum.
“Apa yang mesti dipercaya dari Sadirin? Aku sudah nggak bakal percaya lagi.”
“Iya, Man Kholik. Aku sebenarnya juga ragu-ragu. Dia bilang habis diajak pak bupati menghadap gubernur. Setelah aku telusuri, ternyata itu hanya karangan Sadirin sendiri. Dia cuma dengar ada orang bilang gitu, terus dia akui itu dia yang diajak sama pak bupati.”
“Nah, kan. Apakah kamu masih percaya juga?” hardik Man Kholik.
Barangkali bukan hanya Man Kholik dan Markum yang sudah tidak percaya lagi sama cerita-cerita Sadirin. Mungkin saja orang-orang sudah mulai meragukan kebenaran cerita-cerita Sadirin.
Man Kholik berfikir, sebagai rakyat biasa, untuk ketemu pak camat saja susahnya sudah bukan kepalang, apalagi ketemu bupati dan seterusnya sampai presiden. Untuk ketemu kiai Nur Salam yang punya pondok di kampung sebelah atau pak camat pun rasanya susah, apalagi ketemu kiai atau pejabat pemerintah yang kekuasaannya cukup luas, seperti bupati sampai ke atas.
“Aku bukannya tidak percaya kalau kiai Nur Salam itu pintunya selalu terbuka buat orang biasa semacam kita. Dia itu kiai. Sudah tugasnya kiai untuk menerima kedatangan kita yang mungkin perlu bantuan atau taushiyah-taushiyah-nya. Tapi sejak lima tahun lalu dia itu kan kiai politik. Baru ngurus partai di tingkat kecamatan saja dia sudah susah didatangi ke rumahnya. Pak camat juga gitu.” Kata Man Kholik.
“Loh, kok bisa Man Kholik berpikiran gitu?” tanya Markum.
“Ha..ha..ha..” Tawa Man Kholik pecah, sampai giginya yang tanggal di bagian depan itu terlihat seperti jendela terbuka. Lemak di tubuhnya seperti naik turun tersebab gerak tubuhnya.
“Kau masih lupa, Markum?” tanya Man Kholik.
Tangannya menyambar sebatang rokok filter, lalu membakarnyan.
“Lupa apa?” Kening Markum berkerut, entah dia mencoba mengingat-ingat sesuatu atau memang tidak paham pertanyaan Man Kholik.
“Waktu kita mau bangun masjid lima tahun lalu, siapa yang datang ke rumah kiai Nur Salam?” timpal Man Kholik.
“Oh iya, saya ingat. Sampean dan saya. Terus?”
“Ya, kamu ingat kan bagaimana kiai Nur Salam menerima kedatangan kita?”
“Betul.”
“Kamu masih ingat juga nggak waktu warga di sini kumpul di masjid untuk musyawarah tentang rencana renovasi masjid?”
“Iya, Man.”
“Nah, waktu musyawarah itu kan kita undang juga kiai Nur Salam. Bahkan dia bilang apa? Masjid itu rumah Tuhan. Sangat tidak lucu rumah kita justru lebih bagus dibanding rumah Tuhan. Dia bilang akan membantu sampai masjid kita benar-benar jadi, atau dia akan dekati bupati. Dia juga bilang punya kenalan dekat orang Departemen Agama di pusat sana. Dia bilang itu pada semua orang yang hadir lho. Jangan salah. Kata-kata itu pasti diingat sama orang-orang yang hadir. Bahkan aku dengar cerita kesanggupan kiai Nur Salam membantu pembangunan masjid itu sudah tersebar ke mana-mana. Tapi kamu tahu sendiri kan?”
“Iya Man Kholik. Maksud Man Kholik masjid itu sampai sekarang masih mangkrak kan?”
“Nah, benar itu, Kum. Rumahnya lebih bagus dari rumah juragan Kadir. Bangunan pondok dan sekolahannya sudah tiga lantai. Mobilnya sekarang ada tiga. Padahal waktu mau diadakan renovasi masjid itu, kamu tahu sendiri seperti apa bangunan rumah dan pondoknya? Mobilnya pun hanya satu, kijang kapsul.” Tubuh Man Kholik kembali bergoyang. Lemak-lemaknya kembali terlihat naik turun. Giginya yang tanggal terlihat seperti jendela yang dibiarkan terbuka. Tangan kanannya memukulkan sebatang rokok filter yang sudah hampir habis pada sebuah asbak.
“Sekarang muncul Sadirin. Malah dia pernah bilang ke aku, dia itu beberapa kali sering ketemu Gus Dur. Dekat dengan kiai Hasyim Muzadi. Dekat dengan kiai-kiai besar di seluruh Jawa. Katanya dia sering dipanggil beliau-beliau.” Sambung Man Kholik.
“Hmm..iya Man. Dia juga pernah bilang begitu ke saya dan orang-orang.” Kepala Markum mengangguk.
“Itu namanya jancuk kan? Mau ngapusi orang banyak tho? Lalu apa untungnya dia ngomong begitu, ngalor ngidul? Menurutku, nggak ada yang dibanggakan. Orang bisa kenal dengan orang-orang penting itu ya biarkan saja. Itu biasa saja, bukan sesuatu yang hebat. Kalau dia mau bantu orang lain dengan modal perkenalananya itu, ya monggo. Tapi kalau untuk pamer-pameran, maaf aku tidak suka.”
“Iya sih. Tapi si Sadirin itu dulunya kan mahasiswa, Man Kholik. Katanya dia aktif di organisasi apa gitu, aku nggak begitu ngerti. Dia rajin sowan ke kiai-kiai lho. Dia pernah perlihatkan fotonya sedang berdiri di belakang Gus Dur.” Kata Markum.
“Nah, coba kamu pikir. Gus Dur itu kan dikenal banyak orang. Apalagi Susilo BambangYudhoyono. Menteri-menterinya. Gubernur. Bupati. Lha wong pelawak seperti Thukul saja banyak yang menggemarinya. Itu, si Oneng itu juga cantik dan banyak penggemarnya. Tapi, kalau sudah diundang ke mana-mana, apakah mereka kenal satu per satu orang-orang yang ada di sekitarnya? Lha wong seorang gembel saja bisa foto bareng presiden. Apa terus si gembel itu kita anggap sebagai orang penting juga?” timpal Man Kholik berapi-api.
Markum melongo. Dia pikir ada benarnya juga kata-kata Man Kholik. Bisa saja orang semua foto bersama dengan orang penting. Tapi foto itu hanya tinggal kenangan.
“Jadi, Man Kholik menyimpulkan tidak percaya sama sekali dengan cerita Sadirin?”
“Ya. Betul itu. Aku tidak percaya dengan cerita-cerita Sadirin. Kita itu mbok ya jangan mudah terlena hanya gara-gara kenal dengan orang penting. Kalau Sadirin benar-benar kenal dengan mereka-mereka, kenapa dia hanya ceritakan itu kepada orang-orang di sini?”
“Maksud Man Kholik?”
Man Kholik kembali menyambar sebatang rokok filter dan membakarnya sebelum melanjutkan kata-katanya. Dia betulkan posisi duduknya.
“Begini, kalau toh Sadirin itu kenal dekat dengan orang-orang penting, mbok ya jangan hanya besar di mulut. Masjid kita itu kan belum seratus persen jadi. Ini contoh kecil saja. Menurutku akan lebih baik kalau dia dekati kenalan-kenalannya. Minta mereka menyumbang untuk melanjutkan pembangunan masjid. Kita mestinya malu punya masjid kok sepertinya nggak diurus. Kalau kita mau ngurus sesuatu yang berhubungan dengan pejabat tapi kita nggak kenal salah satu dari orang-orang itu, jangan harap kita bisa jadi pesulap.”
“Benar itu, Man.”
“Dulu, aku itu dekat sekali dengan mantan bupati kita. Aku sering diajak jalan-jalan. Aku dikenalkan dengan pejabat-pejabat provinsi. Aku sering dimintai tolong untuk mengurus proyek ini, proyek itu. Waktu itu, kalau aku mau minta sumbangan atau butuh bantuan apa saja, tinggal ngomong ke bupati. Aku juga sering diajak sowan ke kiai-kiai di Langitan, Pasuruan, Liboyo, dan kota-kota lain. Kamu tahu nggak, kenapa saya dikenalkan dengan kiai-kiai itu?”
Markum menggeleng.
“Ya, maksudnya biar aku bisa jadi jembatan antara bupati dengan kiai-kiai itu. Tapi sayang, nggak lama kemudian pak bupati itu dipaksa mundur dua tahun lalu. Kamu dengar beritanya kan? Pak bupati dipaksa mundur karena tersangkut kasus korupsi. Tapi dia itu difitnah. Aku tahu sendiri karena aku sudah sangat dekat dengan beliau. Dengan keluarganya. Tapi, posisiku masih tetap aman. Setelah aku dikenalkan dengan kiai-kiai sepuh, makin lama aku juga makin dekat dengan beliau-beliau. Apalagi dengan keluarga Lirboyo, aku juga sudah seperti bagian dari keluarga mereka.”
Markum termangu mendengar cerita-cerita Man Kholik. Malam semakin larut. Man Kholik terus melanjutkan cerita-ceritanya. Cerita-cerita Man Kholik makin lama makin melebar seperti air tumpah. Di benak Markum, cara Man Kholik menyampaikan cerita-ceritanya itu makin lama tak jauh beda dengan cara Sadirin mengobral cerita-ceritanya. Laki-laki tambun yang pernah diberhentikan sebagai guru sebuah madrasah karena dituduh melarikan salah satu siswinya itu seperti tape recorder yang terus mengeluarkan cerita-cerita dari masa lalunya.
Bahkan Man Kholik berusaha meyakinkan Markum kalau sampai malam itu pun mantan bupatinya masih sering meminta tolong kepadanya. Kiai-kiai sepuh yang diceritakannya itu juga masih sering mengundang Man Kholik melalui telfon.
Markum mulai tersadar oleh pertanyaannya sendiri, kalau Man Kholik kenal dengan mantan bupati dan kiai-kiai sepuh dari berbagai kota, kenapa pembangunan masjid di kampungnya tidak juga rampung?
*Jombang-Jogjakarta, 2008
_____________________________
Dimuat di Koran Merapi, Minggu 27 Juli 208
29.7.08
Share This To :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
keren - selamat yah dah dimuat. pesan moralnya kena bangeut ^^
Post a Comment