11.9.08
0 komentar

Cerpen: PEREMPUAN BERMATA SIPIT

Aku biarkan dia memaki sesukanya. Semua yang telah aku lakukan untuknya, kini seperti omong kosong yang salah. Kata seorang temanku, apa yang mesti dijelaskan lagi pada orang keras kepala seperti dia? Ada benarnya apa yang dikatakan temanku itu, meski sebenarnya aku masih ragu. Tentu dia punya alasan berbuat begitu. Setiap orang punya alasan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang jadi keyakinannya.



Baiklah, agar kau tak makin pusing, aku mulai saja cerita ini.
Aku bertemu pertama kali dengannya di stasiun Tugu. Tidak usah aku ceritakan bagaimana kami membuat janji sebelumnya. Yang jelas, kami bertemu di sana saat kereta yang aku tumpangi tiba di stasiun itu. Mata kami saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikirannya ketika melihatku. Sebaliknya, aku melihatnya sebagai perempuan yang menarik. Namun, dari matanya yang sipit itu aku menangkap kesan ia memang keras kepala.

Beberapa saat kemudian, tubuh sudah kami melaju di atas motor yang kami tumpangi melewati jalanan Jogja di pagi hari. Kata demi kata meluncur dari mulutku dan mulutnya.

“Emang ada acara apa di Jakarta, mas?” tanyanya.
“Ada peluncuran buku puisi dan sebagian penyair yang puisinya masuk dalam buku itu diundang ke Jakarta,” jawabku.

Lalu, percakapan kami pun melebar seperti air tumpah. Tanpa terasa motor yang kami tumpangi sampai juga di halaman kosku. Aku menawarkan teh hangat. Kami menumpahkan segala cerita dan pertanyaan yang ada di kepala masing-masing. Dari perckapan itu pula aku tahu dia masih kuliah. Namun, entah kenapa aku mencurigai diriku sendiri yang tiba-tiba merasa nyaman saat berbicara dengannya.

Sejak pertemuan itu, kami jadi makin intensif berkomunikasi melalui pertemuan-pertemuan sederhana. Aku juga makin rajin mengirim pesan singkat. Sesekali aku menelfonnya hanya untuk mendengarkan suaranya. Ia pun begitu rajin membalas setiap pesan singkat yang kukirim, mungkin sudah belasan kali setiap harinya.

Kata pepatah Jawa trisno jalaran soko kulino ada benarnya juga. Karena seringnya bertemu dan berkomunikasi itu, aku jadi makin rindu padanya. Padahal aku sendiri belum bagitu tahu siapa ia sebenarnya. Sungguh perasaan yang aneh !

Kepada seorang teman aku bercerita apa yang sedang aku alami.

“Kalau kau selalu bermain dengan pikiran negatif, kapan kau akan merubah kehidupanmu?” katanya.

Ya, benar juga kata temanku itu. Barangkali sama seperti orang lain, jejak-jejak kenangan yang ada di kepala memang tak bisa dibuang. Bahkan melupakan pun tidak berarti membuang, sebab pada saat tertentu ketika ada pemantiknya, kenangan itu seperti api yang siap membakar benda-benda.

Aku semakin yakin untuk menjalani hari-hariku bersama perempuan itu. Ya, sekadar menjalani saja dulu. Mungkin ia juga sama sepertiku. Seandainya tidak, tentu ia akan banyak alasan untuk menolak bertemu dalam intensitas yang sesering itu. Ia perempuan yang selalu riang. Bahkan seringkali ia memancingku dengan humor-humor yang tak terduga olehku.

Suatu malam, ia bercerita kepadaku tentang ketegangan yang terjadi antara ia dan pacarnya.

“Mas, aku sudah pacaran dengannya 6 tahun. Aku sudah melaluinya dengan sabar dan sabar. Tapi tetap saja kelakuannya seperti itu di belakangku.” Katanya.
Baru kali itu aku menangkap kesedihan di balik mata sipitnya yang membuatku terpesona. Diam-diam ada perasaan aneh yang lain, yang tak mudah kuluncurkan dari mulutku.

“Apa yang dilakukan pacarmu?” tanyaku menyelidik.
“Dia selingkuh dan itu dilakukannya berkali-kali.” Jawabnya.
“Hmm…buatku selingkuh adalah kesalahan yang tak termaafkan, siapa pun yang melakukan itu. Bahkan mendengarnya saja aku benci, apalagi jika itu dilakukan padaku.” Kataku.

“Tapi aku masih sayang padanya. Dia itu pacar yang baik buatku.” Katanya.
Jawaban perempuan itu tentu saja mengejutkanku. Kenapa ia masih juga memikirkan kekasihnya yang baru saja diakuinya melakukan selingkuh berkali-kali?

“Manusia hanya melakukan dua hal dalam hidupnya,” kataku.
“Pertama, harus memilih. Kedua, bertanggung jawab dengan pilihannya.” Lanjutku.
“Maksud, Mas?”
“Ya, kamu harus memilih untuk tetap bertahan atau putus dengan pacarmu itu. Kalau kamu memilih bertahan, jangan mengeluh lagi seandainya keberadaanmu diremehkan begitu saja. Sebaliknya, jika kamu memilih putus, jangan bersedih. Aku pikir kamu bisa melakukan yang terbaik untukmu.” Kataku.

Aku lihat matanya yang sipit itu semakin kosong. Entah perasaan apa yang bertaburan di kepalanya.

Suatu malam setelah beberapa minggu kemudian ia bercerita lagi tentang hubungannya yang makin memburuk.

“Mas kok nggak nyuruh aku putus? Nggak suka sama aku ya?” Pertanyaan itu telak membuatku terperanjat. Apa yang ada dalam pikiran perempuan ini tentangku? Meski sebenarnya diam-diam aku sudah menyukainya, aku perlu hati-hati menjawabnya. Aku tak ingin pengalamanku mendekati atau menjalin hubungan dengan perempuan di masa laluku terulang kembali.

Mata sipit perempuan itu terlihat kosong lagi. Seperti ada kepanikan yang sulit diterjemahkan. Seperti ada keputusasaan yang sulit dilafalkan.

“Aku tetap sayang kamu, apa pun keputusan yang akan kau ambil tentang hubunganmu dengan pacarmu.” Jawabku.

Aku berkata demikian sembari berharap ia mengerti bahwa aku benar-benar sedang menunggunya.

***

Perlu kau ketahui, pengorbanan-pengorbanan kecil sudah aku lakukan. Aku sangat paham batas-batas sebuah persahabatan. Aku juga paham bagaimana aku memperlakukan orang yang kuanggap istimewa. Seandainya aku tidak memiliki perasaan khusus padanya, tak mungkin kukorbankan waktu hanya untuk mengirimkan belasan pesan singkat setiap hari sekadar bertanya hal-hal remeh, suatu pekerjaan yang tak pernah kulakukan meski terhadap teman akrabku sendiri. Aku hanya ingin ia tahu tanpa harus aku katakan padanya bahwa aku benar-benar menyukainya, setidaknya untuk sementara ini.

Siang dan malam terus memutar jarum jam. Aku merasa nyaman setiap kali bersama perempuan itu, suatu perasaan yang selama hampir dua tahun ini nyaris tidak ada padaku. Ya, aku sudah terlalu sering bersembunyi di balik kesibukan yang kubuat-buat. Dan kali ini aku berjumpa dengan perempuan yang menyimpan rahasia di balik mata sipitnya.

***

Hari ini, sudah lebih dari satu bulan ia pulang ke kampung halamannya. Bapaknya sakit dan meninggal dua minggu lalu, katanya. Entah kenapa tiba-tiba pagi ini aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Ya, ia pernah mengajakku sebelumnya, jadi sangat mudah bagiku untuk menemukan rumah perempuan itu. Enam jam perjalanan harus kutempuh dari Jogja. Aku ingin melihat kondisinya secara langsung setelah lebih dari sebulan kami berpisah. Di perjalanan, pikiranku semakin tak jelas dan mulai memburuk setelah nomornya gagal kuhubungi. Apa yang terjadi? Apakah ia sengaja menghindariku pelan-pelan? Pikiran-pikiran itu kubiarkan bertaburan. Aku lelah.

Tepat tengah hari aku sampai di rumahnya. Ia persilahkan aku masuk. Aku tahu ia terkejut dengan kedatanganku yang di luar dugaannya. Tapi, kami pun segera berbincang kesana kemari. Saat itu, gugur sudah pikiran-pikiran buruk yang seminggu ini menguasai kepalaku. Ia masih tertawa renyah. Mata sipitnya masih menggodaku.

“Mungkin kedatanganku ini bukan pada waktu yang tepat,” aku mulai mengarahkan pada pembicaraan yang serius.

“Tapi setidaknya aku ingin jujur bahwa sudah lama aku ingin jalan serius denganmu.” Lanjutku.

Aku lihat matanya yang sipit itu menatap ke luar. Tangannya memainkan penggaris besi ke bibirnya. Ah, kenapa ia tak menatapku??

“Terima kasih kamu telah jujur, Mas. Sebenarnya dari awal aku tak punya perasaan apa-apa selain ingin berteman denganmu seperti juga aku berteman dengan yang lainnya.” Katanya, ringan.

Aku terperanjat. Dadaku serasa ditumbuk. Jawaban yang keluar dari mulutnya seperti hujan jarum. Aku berusaha menenangkan diri sambil terus memberi penjelasan padanya. Ruang tamu itu mendadak seperti tak berpenghuni.

“Bagaimana surat dari kampusmu?” aku berusaha mengalihkan perhatian, meski pikiranku masih memberontak.

“Nggak tahu, aku belum menerimanya.” Jawabnya ringan.
“HPmu kok nggak bisa dihubungi?” tanyaku lagi.
“HPku rusak.” Timpalnya.

Diam-diam aku mencium ada yang tak beres dengan semua ini. Aku menuduh pada masa lalu saat kami setiap hari selalu bersama.

Sore itu aku undur diri dari hadapannya. Tanpa aku bilang sebelumnya, aku kembali ke Jogja untuk mengambil surat dari kampusnya. Aku dengar surat itu sangat penting. Sesampainya di Jogja, aku cari temannya yang menyimpan surat itu. Aku bilang bahwa aku akan ke rumah perempuan itu lagi untuk mengantarkan surat itu.

Di tengah perjalanan itu ponselku bernyanyi. Sebuah panggilan masuk dari perempuan itu. Aku dengar suaranya yang sesak, mungkin menangis. Ia menanyakan surat yang aku bawa dan menyuruhku datang ke rumahnya pukul sepuluh malam. Ha?? Pasti temannya yang memberi tahu, pikirku. Dan pasti sangat tidak sopan menyuruh bertamu semalam itu? Belum hilang keterkejutanku, sebuah pesan singkat dari perempuan itu masuk.

Aq gk ska caramu.Aq gk ska kmu.Jujur aja,aku pnya pcr skrg….” Aku berhenti membaca sampai di situ. Kepalaku seperti tertimbun reruntuhan es batu, sangat dingin, hingga membuat pikiranku beku. Mataku jadi tak berselera lagi melihat sekitar. Perjalanan ke kota perempuan itu jadi semakin panjang rasanya.

Aku sampai di kota perempuan itu saat petang. Berjam-jam aku menunggu hingga pukul sepuluh. Aku mulai sadar, itu mungkin isyarat darinya agar aku tak perlu berlama-lama di hadapannya.

Aku berjalan menuju rumahnya melalui sebuah jalan kecil. Malam yang membungkus jalan menuju rumahnya itu seperti membuat gua; semakin ke dalam, semakin gelap. Aku lihat perempuan bermata sipit itu sudah berdiri di balik pagar besi.

“Mana suratnya?” katanya ketus.
“Maaf…” belum sempat aku melanjutkan, tangannya sudah menyambar amplop berwarna putih di tanganku.
“Terima kasih.” Katanya lagi, sembari memberikan punggungnya padaku. Aku tak bisa mencegah tubuhnya dilumat malam, seperti juga kubiarkan malam melakukan hal yang sama padaku.

Tiba-tiba aku merasa matanya yang sipit telah membuat jalan yang sempit.


*Jombang, 9 September 2008
:u/ Pt

0 komentar:

 
Toggle Footer
Top