12.9.08
2 komentar

cerpen: TELEPON IBU

Pagi ini ponselku berdering. Antara sadar dan tak sadar, kuangkat panggilan itu. Suara perempuan tua terdengar di balik speaker ponsel; itu suara ibuku. Aku sedikit ragu-ragu. Mungkin karena sejak kemarin pagi aku tidak tidur dan baru bisa tidur dua jam lalu, pikiranku masih melayang-layang.

“Nang, kapan ikut buka puasa dan sahur di rumah?” tanya ibu.

Aku paham apa maksudnya. Ini pasti trik untuk menyuruhku pulang. Ya, biasanya ibu memang suka begitu. Sangat jarang dia menyuruhku pulang secara tegas, kecuali untuk urusan-urusan yang sangat penting. Dan puasa kali ini aku memang tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.

“Ya, nanti lah, bu. Aku masih ada kerjaan yang belum bisa ditinggal. Keluarga baik-baik saja kan?” jawabku dengan suara lemah.

“Alhamdulillah. Bapakmu dua hari lalu kambuh sakit perutnya. Mungkin karena masih awal puasa, apalagi kamu sendiri tahu kebiasaan bapakmu yang suka ngemil itu kan? Eh, gimana kamu sama Fitri?”

Ah, kenapa ibu bertanya begitu? Apakah ibu sejauh itu merasakan apa yang terjadi padaku beberapa hari belakangan ini, tepatnya tentang hubunganku dengan Fitri?

“Insyaallah baik-baik aja, bu.” Jawabku berbohong.

“Ya sudah. Banyak-banyak ibadah di bulan puasa ini. Ibu dan bapak mendoakanmu dari rumah.”

“Amin. Terima kasih, bu.”

Ibu sudah menutup telpon. Jarum jam menunjukkan pukul 6.30 pagi. Aku masih ingin melanjutkan tidur, tapi pertanyaan ibu tadi terlanjur mengganggu pikiranku. Ya, aku memang pernah mengajak Fitri ke rumahku. Kukenalkan dia pada keluargaku. Kata mereka, Fitri gadis yang menarik. Bahkan anak tanteku yang masih kecil sampai sekarang masih sering menanyakan Fitri. Kata orang, entah benar atau salah, anak kecil punya perasaan yang tajam.

Tak berselang lama, ponselku berdering kembali. Kali ini aku tahu, itu nada dering untuk pesan singkat yang masuk. Nama pengirim pesan itu terpampang jelas di ponselku, itu pesan singkat dari Fitri.

“Maaf, mas. Tadi malam aku ketiduran.” Begitu bunyinya.

Aku coba mengingat-ingat apa isi pesan singkatku semalam untuknya. Ya Tuhan, semalam aku berusaha menelponnya. Tapi sampai tiga kali panggilan, Fitri tak mengangkatnya. Aku sempat mengirimkan pesan singkat ke ponselnya, sekadar menanyakan apa yang dilakukan Fitri sampai-sampai ia tak mengangkat panggilanku. Apakah Fitri lupa menaruh ponselnya? Atau, barangkali ponselnya ketinggalan di suatu tempat sehingga ia tak tahu ada panggilan dariku? Ya, ini kebiasaan yang cukup sering dilakukan.

“Ya, sudah. Gak apa-apa kok. Semoga hari ini tetap jadi hari yang menyenangkan bagimu, hunny,” balasku.

Aku manfaatkan waktu yang tidak sampai satu jam di pagi ini untuk bermalas-malasan di kasur, sebelum aku berangkat kerja. Aku menunggu balasan SMS dari Fitri. Tak kunjung masuk ke ponselku. Menit ke menit terus berlalu, aku masih menunggu.

***

Entah apa yang menguasai pikiranku. Setiap kali aku mengirimkan SMS kepada Fitri, aku selalu berharap ada balasan darinya, sama seperti dia yang dulu sering protes ketika SMSnya tak segera kubalas. Tapi setelah hampir dua minggu ini, beberapa SMSku tak terbalas, tepatnya jarang dibalas. Banyak pertanyaan tentang Fitri bergantungan di kepalaku. Bahkan untuk menelponnya pun aku harus berusaha keras, bisa tiga sampai lima kali dalam sehari semalam. Lambat laun, aku sering tak enak hati. Parahnya, perasaan itu selalu terbawa ke tempat kerjaku. Teman seruanganku yang mengetahui situasi batinku akhir-akhir ini menyarankan aku mencari hiburan yang ringan-ringan atau sekadar jalan-jalan ke mal.

“Atau sepulang kerja nanti kita cari kolak di pinggir jalan untuk buka puasa. Di situ kita bisa lihat ramainya orang berlalu lalang. Aku dulu juga sering begitu, melihat orang saja sudah membuat pikiran segar.” Ajak temanku tadi.

Aku mengiyakan. Sepulang kerja kami pun menyusuri salah satu ruas jalan protokol di kota ini. Sudah jadi tradisi di kota ini saat bulan puasa tiba, tepi-tepi jalan terlihat seperti pasar tiban. Penjual kolak dan pembeli sama banyaknya. Meski aku tinggal lumayan lama di kota ini, belum pernah sekalipun beli kolak sambil nongkrong seperti ajakan temanku tadi. Tapi, tak apalah, barangkali memang aku sedang butuh suasana segar untuk mengurangi beban pikiranku tentang Fitri.
“Apa yang terjadi padamu, Nang?”

“Entahlah, Bud. Aku juga tak paham. Pikiranku selalu tertuju padanya. Aku jadi semakin nggak jelas.” Jawabku. Aku pikir Budi sangat paham siapa orang yang aku maksud.

“Coba kau temui dia. Ajak ngomong baik-baik. Jangan sampai akal sehatmu dipermainkan oleh perasaanmu sendiri.” Saran Budi.

“Kau pikir aku tak berusaha, Bud? Saat ia tak di sini, aku berusaha rajin-rajin mengirimkan SMS atau menelponnya, karena hanya itu yang bisa dilakukan setidaknya untuk sementara ini.” Jawabku, kesal.

“Memangnya dia tidak di sini?”
“Tidak. Dan itulah masalahnya.”
“Kenapa harus jadi masalah?”
“Perasaanku semakin tak enak. Apalagi tadi pagi ibuku menelponku, menanyakan keadaan hubunganku dengan Fitri.”
“Nah, itu lah, Nang. Aku kan sudah bilang, jangan kau ladeni perasaan semacam itu. Perasaan itu mudah datang dan mudah pergi. Beda dengan rasa sayang.”

Jalan raya yang membujur beberapa meter dari tempat kami duduk makin ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Aku sama sekali tak tergoda untuk melihat mereka. Kepalaku semakin pusing. Ada perasaan-perasaan yang hendak memberontak karena terlalu lama terkurung dalam tengkorak kepalaku. Dalam kondisi seperti ini memang aku sering tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk mengambil keputusan yang sangat sederhana sekalipun. Aku telah dikuasai oleh perasaanku.

“Nang, yakinlah bukan kamu yang meminta perasaan itu. Ia datang tiba-tiba. Tapi kamu telah menyerahkan hidupmu di tangan perasaanmu. Harusnya kamu yang mengendalikannya.” Kata Budi.

Aku tak tahu. Mungkin Budi bermaksud menenangkan pikiranku yang tak karuan. Dia memang kawan yang baik. Tapi dalam situasi seperti yang terjadi padaku, tidak semua orang bisa berpikir jernih. Ungkapan yang sangat sederhana bisa jadi sebaliknya.

“Tapi coba kau baca ini, Bud.” Aku buka kotak pesan ponselku. Menggeledah satu per satu SMS yang pernah dikirim oleh Fitri kepadaku.

Proses qta tdk brjlan brsamaan, sptny itu sj mslhny,” isi pesan itu aku tunjukkan pada Budi.

“Nah, itu kalimat yang sudah cukup jelas menurutku. Jadi, siap-siaplah kau patah hati..ha..ha..haa..” ledek Budi.

Ah, detak jantungku semakin tak teratur mendengar komentar Budi. Berarti Fitri memang sengaja ingin menghindariku pelan-pelan, pikirku.

“Tapi, Bud. Kalau Fitri benar-benar mau sama aku, tentunya dia tak akan semudah ini membuat keputusan. Lagi pula mencintai yang sempurna itu nggak bakal ada dong. Yang ada hanya bagaimana bisa mencintai sesuatu yang tak sempurna dengan cara yang sempurna, Bud.” Kataku membela diri.

Budi menarik nafas. Langit mulai berwarna tembaga. Jalanan makin ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku diam-diam merasa terlempar ke suatu tempat yang sangat sunyi. Menata perasaan yang berkecamuk jelas lebih sulit daripada menata lalu lalang orang-orang di jalan raya ini.

“Nang, sekali-sekali jangan kau jadi dirimu sendiri. Kau harus jadi orang lain yang melihat dirimu. Mungkin selama ini caramu berhubungan dengan pacarmu itu telah membuatnya tak nyaman.” Saran Budi yang mirip sebuah ceramah filsafat.

“Nah, berarti kan harus dikomunikasikan terlebih dahulu apa yang jadi keluhannya. Menurutku, salah jika mencintai diartikan sebagai menyukai belaka. Mencintai adalah komitmen, Bud. Komitmen untuk saling berbagi, saling memahami, dan menyempurnakan kekurangan satu sama lain. Saling mendukung. Kalau ada yang salah, ya diluruskan.” Kataku dengan nada tinggi.
Budi terdiam.

“Ya sudahlah, Nang. Tidak semua orang berpikir sepertimu. Anggap saja antara kalian terhalang sifat egois. Kau menganggap benar pikiranmu, begitu juga sebaliknya dengan pacarmu. Setidaknya aku sudah memberimu saran-saran, terserah kau mau pakai atau tidak.” Jawaban Budi terdengar datar. Barangkali dia kesal dengan sikapku yang keras kepala.

Aku diam. Demikian juga Budi. Aku meliriknya, dia sedang mengetik SMS, entah untuk siapa akan dikirim SMS itu. Lampu-lampu kota sudah mulai menyala. Pertanyaan-pertanyaan tentang Fitri masih berjejal di kepalaku, seperti ruas jalan raya yang tak sampai sepuluh meter jauhnya dari tempat dudukku.

“Ayo kita pulang. Sebentar lagi magrib.” Ajak Budi, tangannya menepuk pundakku.
Langit yang tadi berwarna tembaga sekarang berubah kelabu. Meski kami sudah beranjak dari tempat kami membeli kolak, namun pikiran tentang Fitri tampaknya sulit beranjak dari kepalaku.

***

Malam ini aku berusaha menaklukan pikiran-pikiran yang berdesak-desak di kepalaku. Pikiran yang makin liar. Bukankah menunggu sesuatu yang tak jelas akan sangat membosankan? Aku lihat ponselku, rasanya jemariku sudah tergoda untuk mengirimkan SMS untuk Fitri. Tapi aku ragu.

_____________________________________
*Jombang, 10 September 2008

2 komentar:

duniaputri said...

cerpen nya asik juga. tapi bukan jenis yg saya sukai. kurang pol, serius engga sedih engga. oh, emosinya kurang kuat boz (",)

duniaputri said...

kurang kuat emosinya mas, jadi serasa datar gitu. hehe. piz ah (",)

 
Toggle Footer
Top