10.8.06
7 komentar

CERPEN = MATA YANG MEMBERONTAK

Laki-laki itu terkesiap lagi. Setiap kali hendak merebahkan tubuhnya pada malam hari, menjelang tidur, sesosok bayangan hitam samar dirasakan selalu mengintainya dari luar jendela kamarnya. Gorden warna biru laut itu jelas memantulkan bayangan aneh yang akhir-akhir ini sering muncul begitu saja. Dan, lampu neon di luar ternyata cukup membantu penampakan itu.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, akan ada angin berhembus sehingga gorden setinggi dua meter tersebut pun bergoyang dengan lembut. Lalu, bayangan itu datang sambil melenggangkan tubuhya. Seolah memamerkan tarian erotis di depan si laki-laki.Tapi si laki-laki tak pernah bisa menyimpulkan apa yang ada di balik lekuk tubuh bayangan itu. Ia tak bisa memikirkan soal selangkangan, seperti yang biasa dilakukannya ketika mengunjungi diskotek atau tempat-tempat streaptease.

Ia teringat, seorang laki-laki tua yang pernah ditemuinya di tepi sebuah danau pernah meriwayatkan bahwa jika muncul bayangan aneh yang tidak dikehendaki pertanda ada roh atau jiwa orang lain yang sedang mencari sesuatu. Mungkin roh tersebut nuntut pada yang masih hidup karena balas dendam atau karena merasa terganggu oleh kehadiran manusia. Atau, bisa saja roh itu hanya sekadar berjalan-jalan karena merasa pengap di alamnya.

Apakah ia pernah berurusan dengan orang lain sebelumnya? Orang yang sudah mati tepatnya! Laki-laki itu lebih keras lagi mengingat-ingat. Namun ia, yang tubuhnya kekar itu, tak mendapatkan apa-apa dari usahanya. Nihil. Ingatannya tak pernah sampai pada tujuannya; menemukan seseorang yang pernah berurusan dengannya. Selama ini, ia selalu merasa aman dengan siapa pun. Di tempat kerjanya, ia banyak mendapat pujian dan prestasi. Bahkan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja telah mempercayakan seorang perempuan muda cantik sebagai sekretaris pribadinya.

Ia rebahkan tubuhnya lagi. Matanya sulit terpejam. Menyapu seisi ruangan kamarnya yang gelap. Ah, mustahil matanya menangkap sesuatu di saat gelap seperti itu. Tapi rasa gelisah tak kuasa diringkusnya. Bahkan ia pun tak mampu menguasai pikirannya yang tak kunjung padam. Seorang laki-laki tak boleh menyerah begitu saja, gumamnya. Ia akan terus dan terus berusaha mengingat-ingat sampai dipecahkan misteri bayangan itu.

Malam berikutnya bayangan itu kembali berkunjung. Masih tampak samar-samar. Bayangan tubuh manusia dengan rambut panjang tergerai itu masih sama dengan bayangan yang hadir pada malam-malam sebelumnya. Ia kembali terkesiap. Bangkit dari rebahannya dan segera berdiri. Beberapa saat kemudian dengan langkah mengendap-endap seperti pencuri, ia dekati jendela dan gordern yang sedang bergoyang.

Sebelum laki-laki itu sampai menyentuhnya, sekitar lima langkah lagi, ia mematung di situ. Seperti sedang mempertimbangkan untuk menambah hitungan langkah berikutnya. Jika ia maju, pikirnya, apakah tidak akan membahayakan dirinya membuka jendela malam-malam begini? Ia akan pelan-pelan meringkus kain gorden lalu dengan waspada membuka engsel jendela. Ia akan menyembulkan kepalanya ke luar. Ia pasti tahu siapa sesungguhnya bayangan yang kerap merampas ketenangannya itu. Bahkan ia juga akan menangkap rupa bayangan itu.Tapi, laki-laki itu kemudian menyadari sebaiknya ia tak meneruskan langkahnya. Bukankah itu berbahaya? Angin malam terlalu kejam bagi tubuhnya.

Dulu, ketika laki-laki itu frustasi sehabis di-PHK, ia sempat pingsan dan muntah darah tersebab seringnya begadang. Ditambah ia suka menenggak minuman keras oplosan. Kini ia tak berani lagi berhadapan dengan angin malam. Jika ia tak bisa tidur, ia memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Merokok. Merencanakan apa yang harus dikerjakan di kantornya esok hari. Menyalakan radio dan mencari gelombang yang tepat. Malam-malam seperti itu ia memang suka mendengar lagu-lagu pengantar tidur.

Laki-laki itu memutar tubuhnya. Ia memang bisa membawa tubuhnya kembali ke ranjangnya. Tepatnya, ia bisa mengatur tubuhnya sendiri; berdiri, berjalan, makan, dan sebagainya. Namun, lagi-lagi tetap saja ia rasa tak kuasa mengatur pikirannya yang terlanjur kacau.

Ia telah sampai di ranjang. Menjatuhkan letih tubuhnya pada spring bed yang dibelinya sejak ia tinggal di rumah itu, empat tahun lalu. Rumah itu begitu senyap. Terlebih jika pada malam hari.

“Bapak penghuni baru, ya?” tanya tetangga sebelahnya yang kebetulan secara bersamaan sedang menyirami taman rumahnya. Sama dengan yang dilakukan laki-laki itu setiap sore di awal-awal ia tinggal di situ.

“Iya.” Jawabnya singkat.

“Bapak tinggal sendirian?”

“Memang ada apa?”

“Oh, tidak ada apa-apa.”Laki-laki itu sedikit terheran dengan pertanyaan tetangganya. Tapi, ia tak mau mereka-reka kesimpulan dari percakapan yang belum jelas arahnya.

Sehabis pertemuan itu, laki-laki itu tak pernah lagi melihat keberadaan tetangganya. “Mungkin sudah pindah rumah. Rumah itu dijual tapi belum laku.” pikirnya. Laki-laki itu masih rebahan di ranjangnya. Matanya belum juga terpejam, tepatnya sulit dipejamkan. Jika begitu, biasanya ia baru bisa tertidur menjelang pukul tiga atau bahkan saat adzan shubuh berkumandang. Paginya, ia bangun dengan mata yang memerah.
***

Seperti biasa ketika laki-laki itu sampai di kantor pagi-pagi, ia akan mengambil sarapan terlebih dahulu di kantin. Di sana ia biasa makan bersama beberapa karyawan lainnya. Meski setiap hari kecuali di hari libur ia dan kawan-kawannya pasti bertemu, nyatanya selalu ada saja yang diobrolkan. Seolah cerita memang tak ada habisnya bagai air laut yang tak kering-kering.

“Kulihat matamu tampak merah dalam beberapa hari terakhir?” tanya salah seorang kawannya.
Laki-laki itu tersenyum. Menyeruput kopi. Kemudian menjawab:

“Aku sering susah tidur akhir-akhir ini.”

“Ah, sebaiknya kau pergi ke dokter saja. Bukankah itu penyakit insomnia?” kata yang lainnya, yang berbaju krem.

Kembali laki-laki itu tersenyum. Ia rasa tak harus buru-buru pergi ke dokter. Mungkin permasalahannya masih bisa diselesaikan sendiri. Ia masih percaya laki-laki tak boleh menyerah. Tapi ia ragu menceritakan pengalamannya setiap malam. Apakah kawan-kawannya bisa membantu? Bukankah justru ia akan diolok-olok sebagai laki-laki penakut?

Ia mempertimbangkan usulan kawannya yang berbaju krem. Pergi ke dokter? Ya, mungkin ia akan diberi obat tidur. Ia akan tidur lebih cepat dan tidak lagi tersiksa oleh matanya yang tak mau kompromi itu. Kenapa ia tak menimbang-nimbang saran kawannya sejauh itu? pikirnya.

“Ok..Ok, dokter mana yang harus kudatangi?” tanya laki-laki itu.

“Coba kau telpon dokter ini…mungkin ia bisa membantumu. Semoga kau lekas sembuh dari insomniamu,” ujar seorang kawan lainnya.
***

Siang harinya, laki-laki itu membenarkan saran kawannya di kantin tadi pagi. Ia coba hubungi nomor telepon si dokter yang disarankan. Setelah mengadakan perjanjian, laki-laki itu diharap mendatangi rumah praktek si dokter petang hari saja.Tepat pukul lima sore, laki-laki itu meluncur dengan mobilnya menuju rumah praktek si dokter. Setengah jam adalah waktu yang sedang untuk menempuh perjalanan itu. Tanpa ada kesulitan apa pun, laki-laki itu menemukan rumah si dokter yang terletak di pusat kota.

Ia dipersilakan masuk. Tak banyak pengunjung di sana. Dan dengan leluasa ia langsung berkonsultasi. Si dokter tampak mendengarkan dengan hikmat setiap keluhan yang disampaikan laki-laki itu. Dengan cekatan, tangan si dokter menuliskan resep. Ia diharap untuk mengambilnya di apotek A. Dalam perjalanan pulangnya, laki-laki itu berharap bisa mengakhiri permasalahan yang mengusiknya setiap malam. Ya, dengan tidur lebih cepat sebelum pukul dua belas malam, ia berharap tidak lagi dihantui bayang-bayang misterius. Kenyataannya memang bayangan itu selalu mengunjunginya setiap jam dua belas ke atas.

Malam itu, ia lakukan apa yang disarankan oleh si dokter petang tadi. Pukul tujuh lewat sedikit, ia telan obat tidur yang diambilnya dari apotek A. Ia menelan sesuai dosis yang dianjurkan oleh si dokter. Tak berselang lama kemudian, ia rasa tubuhnya berat.

“Aha, aku sudah ngantuk. Aku pasti akan tidur lebih cepat,” gumamnya kepada dirinya sendiri.Ya, malam itu, laki-laki itu memang tertidur sejak sore. Entah pukul berapa. Kamarnya tetap gelap, seperti malam-malam sebelumnya. Gorden warna biru laut itu juga masih memantulkan cahaya dari lampu neon di luar kamarnya. Sementara pada pertengahan malam itu, angin yang berhembus lembut mulai menggoyang-goyangkan gorden. Ya, gorden itu bergoyang dan bergoyang, seperti ada tangan yang sengaja meringkusnya. Di luar, derik jangkrik yang biasanya terdengar, tak satu pun yang meramaikan malam itu. Seakan-akan sesuatu telah membungkam mulut mereka. Atau, sesuatu yang telah membuat jangkrik-jangkrik itu takut bersuara.

Sementara perlahan-lahan tubuh laki-laki itu sepertinya menggeliat. Angin malam mengusap tubuhnya yang tak berselimut. Ia membuka matanya. Tangannya meraih sekitar, mencari selimut. Di tengoknya arah jendela. Ah, rupanya ia lupa menutup daun jendela kamarnya. Pantas saja malam itu angin mudah sekali masuk ke kamarnya. Ia berjalan dengan malas ke arah jendela. Tapi sebelum ia benar-benar menutup jendela, tiba-tiba hidungnya menabrak bau wangi kamboja. Antara sadar dan tidak, dirasakan sesuatu tengah menjalar di tengkuknya. Angin malam itu ternyata telah menyelinap ke seluruh lipatan tubuh laki-laki itu. Lebih keras dari menit-menit sebelumnya. Ia rasa kedinginan. Hilang kantuknya, terlebih ketika ia menatap ke luar....berjajar pohon kamboja. Diusap kedua matanya berkali-kali seperti ada yang ingin diusir dari pandangannya. Setengah yakin ia menggerutu; ”bukan dengan obat tidur seharusnya aku menyelesaikan permasalahanku.” Ia masih menggumpalkan kesadaran sembari berpikir keras tentang apa yang sedang ditangkap oleh kedua bola matanya.

Jogja, Mei '06
_____________________
(Dimuat HU Sinar Harapan, Sabtu 29 Juli 2006)

7 komentar:

Anonymous said...

wah..isinya cerpen semua yo kang..ajarin amma dunk :).

fahmi amrulloh said...

ya...untuk sementara emang masih aku isi dengan cerpen sama puisi. itupun masih coba-coba kok....ada juga resensi yang pengin aku publish...belajar menulis itu dari diri sendiri...orang laen hanya media aja...selamat mencoba. selain ini, ada blogku yang laen di : http://fahmiamrulloh.multiply.com dan http://fahmiamrulloh.blogdrive.com
dua-duanya belom aku update

trims dah berkunjung ke blog ini.

Ririn said...

tambah keren aja cerpennya :)

Ririn said...

tambah keren aja cerpennya :)

Anonymous said...

hmm....
mata... mata... mata...

Wida Waridah said...

mata...

Anonymous said...

fahmi, gua pernah juga baca cerpen dengan judul yang sama "mata yang memberontak" tapi di tulis oleh Alan Poe tahun 1854 klau ga salah. Apa kamu terinspirasi dari sana juga ?

salam,
-indah-

 
Toggle Footer
Top