24.5.06
One komentar

CERPEN = GUS DJAZULI

GUS DJAZULI

Keanehan Gus Djazuli akhir-akhir ini memang sering menjadi bahan gunjingan warga kampung. Ada yang bilang kalau putera sulung kiai Abdurrahman itu sekarang berubah menjadi temperamental, egois, bahkan angkuh. Dia juga bisa menebak sesuatu yang akan terjadi. Namun, ada pula yang mempercayai di balik segala keanehan Gus Djazuli terdapat misteri yang hanya mampu dikuak oleh orang-orang khos. Orang-orang yang beranggapan demikian menilai paling banter Gus Djazuli sedang jadzab.

Tapi aku tak mudah percaya begitu saja dengan omongan orang-orang itu. Bagiku, tak mudah menilai perubahan sikap seseorang. Apalagi jika hal itu didasarkan pada kenyataan yang sepotong-potong, malah bisa-bisa kita dianggap menuduh atau menyebarkan fitnah. Nah, kalau mulut sudah salah bicara, berapa banyak petaka yang bisa kau hitung? Aku takut sekali.

"Kau tahu, jadzab tidak sama dengan gila," kata kang Sulaiman.

"Lho, kan sama-sama hilang kesadarannya, Kang?"

"Jelas beda. Orang jadzab itu kalau sudah sembuh, dia akan diberi kekuatan lebih sama Yang Mahakuasa. Ibaratkan saja orang jadzab itu seperti orang yang sedang tidur istirahat. Kalau sudah bangun, badannya akan terasa segar dan eneginya terkumpul." Jelas kang Sulaiman.

"Kalau orang gila?" tanyaku.

Selanjutnya, laki-laki bertubuh kurus yang cukup dekat dengan keluarga kiai Abdurrahman ini masih saja berbicara meyakinkan orang-orang yang selepas shalat Isya' itu masih duduk-duduk di serambi masjid, bahwa gila tidak sama dengan jadzab. Aku tahu, kang Sulaiman memang berada di pihak Gus Djazuli.

Beberapa hari kemudian, kedua mataku benar-benar melahap pemandangan yang cukup aneh. Tak seperti biasa, aku melihat Gus Djazuli sedang berjalan sendirian menuju pasar kota hanya mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Rasa penasaranku pada laki-laki berambut gondrong ini memang begitu kuat apalagi setelah tersiar kabar kalau Gus Djazuli juga bisa berada di dua atau tiga tempat sekaligus. Apakah laki-laki itu benar Guz Djazuli, putera sulung kiai Abdurrahman? Atau hanya orang lain yang kebetulan mirip saja dengan Gus Djazuli? Aku tak ingin menyimpulkanya sekarang.

Aku membuntutinya dari jarak sekian meter. Bila benar itu Guz Djazuli, tentu aku harus menjaga jarak agar jangan sampai dia curiga. Jika terpaksa kepergok, aku akan berpura-pura menjawab kalau pertemuan di pasar itu hanya kebetulan belaka; kebetulan aku sedang belanja beberapa barang untuk stok kios di rumah. Sejurus kemudian, aku belum melihat ada tanda-tanda bila dia tahu aku menguntitnya.

Hari itu suasana pasar memang lebih ramai dari biasanya. Jadi, aku terpaksa berjalan sesekali menyerobot kerumunan para pengunjung. Seorang perempuan tambun berkacamata berteriak padaku menawarkan beberapa potong pakaian anak-anak. Aku meringis kecut. Kupikir mungkin ia asal menebak saja. Apakah aku sudah kelihatan tua dan pantas disebut bapak? Padahal aku sendiri belum beristeri. Ya, jauh lebih nyaman kalau aku disebut laki-laki bujangan. Dan, sebutan itu bagiku terasa lebih menenangkan daripada sebutan perjaka tua.

Aku menggelengkan kepala pada perempuan itu, berharap ia memahami bahwa aku tak punya banyak waktu untuk menawar dagangannya. Bukankah tujuanku menelusuri los-los pasar hanya untuk mengobati rasa penasaranku saja pada seorang laki-laki 'aneh' bernama Gus Djazuli yang tak sengaja kupergoki itu?, batinku. Jadi, aku tak boleh lengah gara-gara kepincut barang-barang bagus yang digantung atau dipajang di etalase. Soal belanja bisa diatur kapan saja aku ingin dan sempat.

Sesaat aku masih bisa memantau keberadaan Gus Djazuli dari jarak sekitar sepuluh meter meski sesekali aku harus menjinjit dan mengangkat kepalaku tinggi-tinggi. Tapi, berjejal seperti ini hanya membuatku lelah. Dan, jejak Gus Djazuli sekarang sudah ditelan kerumunan orang-orang itu. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, semacam putus asa, buat apa aku capek-capek di sini? Buat apa aku mengurusi orang lain?

"Benar, kamu harusnya tak perlu mencampuri urusan orang lain kalau tidak diminta," kata seseorang dari arah belakang. Ujaran suara yang tak asing itu menelusup lewat dua lubang telingaku. Sangat jelas sekali. Aku mengenalinya betul.

Aku menoleh. Rasanya aku hampir tersedak. Jantungku semakin keras memompa darah ke seluruh tubuh diiringi keringat dingin yang tak begitu banyak menggenang di jidatku. Laki-laki yang aku buntuti sejak tadi malah ganti membuntutiku sekarang.

"Lho…"

Aku hampir tak percaya Gus Djazuli sudah ada di belakangku.

"Kamu kira yang sudah di depan tidak mungkin bisa berada di belakang?"

Aku tergeragap. Rencanaku untuk mereka-reka jawaban jika terpaksa kepergok Gus Djazuli pun gagal total. Mulutku terasa terkunci. Bahkan aku seperti orang yang berjalan terbelit kakinya sendiri. Aneh bukan? Rencana yang sudah cukup matang tadinya membuatku merasa percaya diri. Namun ketika dihadapkan pada persoalan sebenarnya, semua rencana itu menguap seperti tak ada apa-apanya. Dan aku tak bisa menampik jika ada yang bilang aku adalah salah satu dari orang yang punya banyak rencana tapi tak mampu mewujudkan.

Sejurus kemudian, tanpa bicara banyak Gus Djazuli menarik tanganku. Aku bertanya-tanya dalam hati hendak dibawa kemana aku ini. Lebih dari itu aku juga malu. Aku bukan anak kecil yang mesti digandeng tangannya agar tidak hilang.

Kami melewati los-los pasar tanpa menghiraukan teriakan para pedagang.

"Sini, aku kasih tahu kamu," kata Gus Djazuli yang membawaku duduk di emperan salah satu los yang tidak lagi dihuni.

"Kamu heran aku memakai pakaian ini?"

Aku diam. Suara Gus Djazuli terdengar pelan dan dalam. Sepertinya ia tidak sedang marah gara-gara aku membuntutinya tadi.

"Apakah anak kiai juga tidak boleh gila-gilaan, apalagi gila beneran?"

Aku masih diam. Menyimak pertanyaan Gus Djazuli.

"Aku, kamu, abah saya, dan semua orang yang ada di dunia ini hanya tinggal menjalani hidup. Semua sudah digariskan sama yang di atas. Tidak boleh ada yang merasa unggul sendiri. Semua kelebihan dan kekurangan diciptakan untuk saling mengisi dan melengkapi, bukan untuk dijadikan bahan menjatuhkan apalagi menertawakan."

Aku mencoba menerka ke arah mana pembicaraan Gus Djazuli ini. Tapi, aku tak mendapatkan hasil apa pun. Bahkan aku sama sekali tak paham apakah dia sedang menyindir seseorang, tepatnya aku, atau memang dia bermaksud menceritakan dirinya sendiri?.

"Coba kamu renungkan, apa jawabanmu jika ada orang yang bicara bahwa kamu laki-laki yang tidak beruntung. Di usiamu yang sudah lebih dari tiga puluh ini kamu belum juga menikah. Kamu pasti marah bukan? Dan kamu juga akan membalas orang-orang itu dengan mengatakan 'apa urusan kalian? Aku mau kawin atau tidak itu urusanku'…."

"Sudahlah, sekarang kamu pulang saja. Nanti sore ada tamu yang mau berkunjung ke rumahmu. Dia pasti bawa rejeki."

Aku jadi malu sekali hari itu. Bukan hanya gara-gara aku kepergok Gus Djazuli, tapi sebaliknya dia malah menasihatiku banyak hal. Dan aku tak menampik setiap orang yang waras pikirannya pasti akan menghargai nasihat orang lain meski bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Tapi selalu nasihat yang diterima setelah melakukan kesalahan itulah yang memalukan. Seolah-olah kita memang bodoh. Dan kita tak pernah menyadari bahwa hal paling bodoh sebenarnya adalah sikap kita yang malu mengakui kebodohan.

Aku pun berlalu meninggalkan Gus Djazuli sendirian di pasar itu. Mungkin dia memang punya rencana sendiri, dan aku tak berhak terlalu jauh mencampurinya.

Sesampainya di rumah, rasa penasaranku pada Gus Djazuli bukannya mereda, malah kian menjadi-jadi. Orang-orang bilang keanehan Gus Djazuli yang paling mencolok adalah sikap temperamental yang dimilikinya sekarang. Belum genap satu bulan, aku pernah melihat sendiri seorang pemuda dari desa sebelah mengendarai motornya tak terlalu kencang lewat depan rumah Gus Djazuli. Hanya kebetulan saja knalpot motor anak itu sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Segera Gus Djazuli mengambil pisau lipatnya dan langsung mengayuh sepedanya mengejar pemuda tadi. Setelah tertangkap, tanpa banyak bicara ia langsung menggoreskan pisau lipatnya ke jok motor. Tak hanya itu, ia juga menguras bensin motor pemuda itu.

Tapi, pertemuanku dengan Gus Djazuli tadi siang menyiratkan pesan yang aneh. Ada semacam teka-teki yang jika aku sesuaikan dengan omongan warga kampungku berbeda seratus delapan puluh derajat. Padahal, tadi siang aku yakin Gus Djazuli tahu aku menguntitnya. Adalah wajar jika dia sampai tersinggung karena menganggapku mencampuri urusannya.

Aku tersentak. Lamunanku tentang Gus Djazuli terpotong setelah terdengar pintu diketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu dan kulihat kang Sulaiman berdiri dengan sepucuk surat.

"Dari Hong Kong," katanya.

Singkat cerita, kubuka surat itu. Beberapa baris paling akhir isi surat itu membuatku terharu sekaligus terkejut. Begini:

….bulan depan aku pasti sudah pulang ke Indonesia. Aku rasa sudah cukup uang yang aku cari. Tak perlu aku berlama-lama di tanah orang. Bekerja pada orang lain lebih banyak susahnya, apalagi jauh dari keluarga dan kamu. Aku harap, nanti kamu segera melamarku. Kita akan menikah secara sederhana dan meminta Gus Djazuli jadi penghulu. Lalu kita buka usaha kecil-kecilan di rumah. Berjanjilah padaku.

Hong Kong; awal Januari
ttd.

Yang mencintaimu.

Saat itu juga aku ingat kata-kata terakhir Gus Djazuli di pasar tadi sebelum dia menyuruhku pulang. Ya, aku ingin menemuinya sekarang dan menunjukkan surat ini padanya.

Jogjakarta, 02''06

__________________________
* dimuat HU Surya, Minggu 21 Mei 2006

1 komentar:

admin said...

wih... arek pesantren... asyik ceritanyo... matur suwun cak....

 
Toggle Footer
Top