17.5.06
0 komentar

CERPEN = PULANG

PULANG

Semua yang datang, suatu saat akan pergi. Dan, semua yang pergi belum tentu kembali. Tapi, segala yang dikehendaki-Nya sungguh sulit kau terka. Misalnya, seperti yang akan kau simak dalam kisah ini.

Seluruh penduduk di kampungku percaya bahwa semua yang datang pasti akan pergi. Namun, mereka tampaknya tidak akan pernah menduga sama sekali bahwa setiap kepergian memiliki kemungkinan untuk pulang. Bagi mereka, yang pergi biarlah pergi. Tak usah dikenang apalagi ditangisi.

Sampai tiba saatnya pada suatu sore yang mendung itu seluruh mata penduduk kampungku dibuat terbelalak. Mereka tercengang. Melongo. Tenggorokan mereka terasa tercekat. Semua itu disebabkan kepulangan Badrun yang tak disangka-sangka. Memimpikan kepulangan Badrun pun mereka tak pernah. Tapi itulah kenyataan yang mereka lihat sekarang. Badrun benar-benar pulang. Ya, Badrun, anak Pak Yunus yang bekerja sebagai kuli itu. Lain tidak.

Kalau kau ada di sini, kau akan melihat semuanya. Orang-orang yang melongo itu, Pak Yunus dan isterinya, juga kakak dan adik Badrun. Wajah mereka tampak lucu, tapi sebagian lainnya tampak tegang. Mereka tampak seperti tengah menonton acara sirkus atau akrobat yang menegangkan.

Sore itu benar-benar jadi pecah. Bukan cuma cara penduduk yang sangat aneh menerima kepulangan Badrun, melainkan emak yang tiba-tiba menjerit histeris. Kau dapat membayangkan, merasakan, betapa getaran rindu perempuan tua itu tiba-tiba berubah seperti aliran listrik tegangan tinggi.

Seperti yang telah kukatakan di awal cerita, kebanyakan orang-orang itu—bahkan keluarga Badrun sendiri—terlihat susah memercayai kepulangan Badrun sejak dua puluh tahun lalu dinyatakan menghilang. Tentang hilangnya Badrun yang waktu itu berusia lima tahun lebih tua dariku, aku kurang tahu pasti. Sebab, usiaku saat itu baru menginjak sembilan tahun. Dan kau tahu sendiri apa yang ada di pikiran anak-anak seusia itu.

Baiklah. Sekarang biarkan aku mengajakmu menyimak bagaimana reaksi Badrun, keluarganya, dan orang-orang itu, penduduk kampungku.Yang aku tahu—maaf, aku hanya mengandalkan ingatanku dua puluh tahun silam dan beberapa kabar tetangga—Badrun yang ada sekarang, bukanlah Badrun yang dulu. Kini dia mengesankan sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu, dia adalah anak laki-laki paling temperamental yang pernah kutemui. Bahkan hampir tiap hari, dia tak pernah absen berkelahi atau sekedar menebar tantangan. Waktu itu, aku belum bisa membedakan mana tantangan dan mana gertakan. Pokoknya, Badrun suka sekali berkelahi, itu saja. Sampai-sampai aku dan kawan-kawan menjulukinya sebagai “jawara gadungan kelas kampung.”

Tapi kali ini, kalau kau ada di sini, kau akan tertipu oleh mata kepalamu sendiri. Kau akan mengira Badrun adalah sosok yang kalem. Ramah. Murah senyum. Pandai bergaul. Kesan itu tak jauh beda dengan kesan yang kudapat ketika sore itu dia menginjakkan kakinya di tanah kampung ini. Aku pun hampir tak percaya sama sekai bahwa laki-laki berkulit legam yang memakai peci krem ala seniman dengan setelan kaos warna biru itu adalah Badrun.Kemudian, di sepanjang jalan menuju rumahnya yang kini sudah berdinding bata itu, kau akan melihat Badrun tak henti-henti menebar senyum seperti orang yang menebar biji padi di sawah. Kepada setiap orang yang berpapasan dengannya, dia tak segan-segan menyalami bagai kerabat yang lama tak bersua. Anehnya, seperti yang sudah kuceritakan, orang-orang itu hanya terkesan sebentar kemudian terkesima. Tercengang. Melongo begitu saja. Entah apa yang tengah singgah di kepala mereka selain kenyataan yang benar-benar menohok keyakinan mereka selama ini; segala yang telah pergi tak akan kembali lagi.

Ketika sampai di rumahnya itulah emaknya menjerit histeris. Adiknya, si Soni yang rupanya masih menyimpan wajah abangnya di kepalanya, yang memberitahu. Kemudian Pak Yunus, bapaknya. Sayangnya, waktu itu kakak dan adiknya yang paling bungsu tidak ada di rumah. Keduanya baru datang bakda Magrib. (Tapi tak ada kesan yang menarik dari si kakak, Soni, dan adik bungsu Badrun. Jadi, sampai di sini saja kuceritakan tentang mereka bertiga).

Selepas Magrib, Badrun dan Pak Yunus duduk-duduk di beranda. Emaknya baru menyusul kemudian .

”Maafkan Badrun, Mak. Pak. Sejak Badrun pergi dengan Saniah, Badrun telah menyusahkan semua keluarga kita. Badrun telah menebar aib,”

”Seharusnya, kau tak perlu lagi pulang,” kata Pak Yunus dengan nada ketus.

”Kau tahu Saniah itu siapa? Kau harusnya tahu juga apa akibat perbuatanmu itu. Kalau kau kembali, kau hanya akan menyiram luka yang masih menganga dengan air garam dan asam. Yang perlu kau ingat, kalau luka di sekujur badan masih bisa kering tiga atau empat hari. Tapi perbuatanmu membawa pergi Saniah malah meninggalkan luka di hati kami,”

”Sudahlah, Pak,” kata emak menyela. ”Badrun memang bersalah. Sekarang apa yang akan kamu lakukan, Nak?”

Badrun merundukkan kepala sambil memainkan jari-jarinya. Suasana jadi hening sesaat di rumah itu.

Tapi di luar? Kau tahu, bisik-bisik sudah mulai menjalar dari telinga ke telinga. Bisik-bisik itu—entah siapa yang mengawali—telah menghiasi setiap sudut kampungku.

”Cis...berandalan kampung itu datang lagi,”

”Kenapa, ya, kok dia datang sendirian? Dikemanakan Saniah?”

”Mungkin sudah dibunuhnya,”

”Siapa yang peduli!”

”Kok kamu bisa mengira seperti itu?”

”Mungkin berandalan itu sudah bosan dengan selangkangan Saniah yang sudah apak. Atau teteknya sudah tidak kencang lagi... kayak pepaya Thailand, besar tapi cuma menggantung,”

”Ha..ha..ha...””Ah, masa bodoh. Mau dia bunuh Saniah atau dia goreng teteknya, sekarang bagaimana dengan si Jamprong? Apa dia sudah tahu kedatangan Badrun?”

”Aku rasa belum. Mungkin Jamprong sudah melupakannya. Dia kan sudah punya tetek baru sekarang,”

’Iya, kencang. Mulus...dan aduhai...”

”Ha..ha..ha...”

Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang dibicarakan orang-orang itu tentang Badrun, Jamprong, dan Saniah. Tiba-tiba aku jadi berpikir, bagaimana jika benar terjadi Jamprong tahu kedatangan Badrun?

Sejak saat itu, nama Badrun dan Jamprong selalu berputar-putar di kepalaku seperti gasing. Begitu hebatnya kedua nama itu berputar-putar, yang ada sekarang adalah teka-teki apa, bagaimana, dan siapa?

Seminggu kemudian aku harus pergi ke Surabaya selama tiga hari untuk panggilan wawancara di sebuah perusahaan swasta. Di Surabaya, aku tinggal di rumah budhe. (Tentang budhe, tidak perlu kukisahkan panjang lebar karena menurutku tidak ada yang menarik darinya). Sementara itu, nama Badrun dan Jamprong masih saja berputar-putar di kepalaku. Tapi di Surabaya, aku bisa mengalihkan perhatianku dengan main Play Station atau nonton televisi bersama sepupu-sepupuku.

Meski demikian, jenuh adalah satu-satunya suasana hati yang tak bisa kuhindari. Bosan juga main PS atau nonton televisi di rumah budhe. Suatu pagi, aku putuskan pergi ke kios koran depan rumah budhe. Biasanya aku hanya akan mencari lowongan pada setiap koran. Kau tahu? Aku jarang sekali—bahkan boleh kau sebut aku laki-laki yang malas—membaca berita apalagi opini yang tetek bengek itu.Tapi, di kios itu, sebuah surat kabar lokal sempat juga menyihir pandanganku. Koran itu sudah lama kuketahui memuat berita-berita kriminal. Dan tatapan mataku pun jatuh pada salah satu judul berita yang ditulis dengan font kira-kira berukuran tiga puluh enam di halaman depannya. Begini, ”Baru Saja Pulang, Nyawa Melayang.”

Aih, ngeri juga membaca berita kriminal. Seolah-olah dunia ini sudah tidak aman lagi untuk ditinggali. Seolah-olah dunia ini lebih banyak serigalanya dari pada domba putih-putih dengan tubuh gemuk menggemaskan. Namun judul berita yang baru saja—dan masih—menyihirku itu akhirnya memaksa tanganku meraihnya. Kuamati foto insert dengan tulisan tebal di bawahnya; ”Badrun.” Lalu kuteruskan membaca detail beritanya.Ah, aku ingin segera pulang hari ini juga. Aku ingin menemukan jawaban teka-teki yang beberapa waktu lalu masih berputar-putar di kepalaku pada orang-orang kampungku. Tidak pada koran ini.

**Jogjakarta, 2005**
_________________________________
(Cerpen ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu 22 Januari 2006)

0 komentar:

 
Toggle Footer
Top