17.5.06
0 komentar

CERPEN = SAMPAI DI TITIK TERAKHIR

Sampai Di Titik Terakhir

Aku tergagap ketika malam datang mengetuk pintu. Belum usai mimpi yang kuarungi, sampanku telah terampas. Aku terhempas sampai sejauh laut ini. Laut yang sunyi dengan bukit-bukitnya cadas menjulang. Jika siang, ia tampak kebiruan. Kemilau cahaya menari di dadanya, menggulung bersama ombak yang sekali waktu buas. Aku hampir tenggelam dan dimakan karang.

Aku bangkit dari ranjang. Duduk. Kepalaku menunduk. Kedua korneaku masih bersembunyi di balik redup kelopak mata dan rimbun bulu-bulu bak bulan sabit yang menancap di bawah keningku. Aku menghitung sesal karena mimpiku harus terjeda. Yah, kalau mimpi saja sebegitu susah untuk dinikmati….aku tak habis pikir.

Di luar, lengan malam kekar, jemarinya menggelitik daun dan ranting, tetapi nyaris seperti tak ada kehidupan sama sekali. Tak ada tawa geli terdengar. Dingin? Itu cuma simbol yang dilekatkan pada malam. Setiap kepala yang kutemui pasti mengatakan malam itu sama dengan dingin. Berarti mereka telah terjebak dengan simbol-simbol yang mereka buat sendiri? Tidak juga!

Yang jelas, lautku tidak memberi pelangi. Aku laki-laki. Tanpa pelangi juga tak apa-apa. Persetan dengan aturan-aturan juga simbol-simbol.

"Ah, itu munafik namanya."

"Aku munafik?"

"Ya."

"Tidak..! aku tidak munafik!"

"Pokoknya, iya."

"Tidak..!"

Aku tersentak. Keraguan telah mendulang pikiranku. Begitu juga pada setiap lekuk sendi tubuhku, aku merasa lumpuh. Bimbang telah menampar kenyataan. Aku tak jauh berbeda dengan manusia lain yang menyeberang melalui jembatan gantung yang tali-talinya lapuk. Aku diam di antara dua bukit yang kuharapkan atau harus jatuh ke jurang yang curam.

Raut wajah dengan senyum sinis tergambar pada dinding kamar. Mulanya satu satu, lalu menjadi tak terhitung lagi jumlahnya. Pernah dulu aku menggambarnya dari sebuah lingkaran, tapi, sudah terhapus dimakan waktu. Di depanku, tepat di ujung kaki, sebuah kanvas kosong juga turut diam. Sayang, aku tak ada cat untuk melukismu. Bisakah kau bersabar menanti? Seperti bulan yang tenang menanti pagi.

Nafasku serasa dalam. Kata-kata yang singgah di telinga sekarang sudah membusuk. Bau anyir nyinyir menyengat ruangan. Di sini pengap! Membuatku semakin lama kian megap. Tidak ada dambaan hati di sini. Tidak ada ramai.

Tik! Tik! Satu persatu air jatuh dari dedaunan di luar sana.

"Sudah hidupkah dunia kini?"

"Baru mulai."

"Tapi aku ragu menyebutnya hidup."

"Kenapa?"

"Hidup harus ada perjuangan. Tidak boleh hanya dengan menunggu."

"Kalau berjung terus, tapi nggak mau menunggu, bukankah itu sia-sia?"

"Sudahlah!"

Tik… Tok…. Tik... Tok... jari-jari waktu selalu berputar menyusuri heningku. Ia berputar seperti tak ada ujungnya. Tak lelah. Barangkali inikah perjuangan itu? Terus berputar dan berputar.

"Tapi kalau tidak ada ujungnya, ya, sama saja."

"Tidak mesti begitu."

"Tidak mesti bagaimana?"

"Kita, jelas berbeda dengan waktu. Tapi kita tidak dapat berpisah dengannya."

Aku mulai mengijinkan huruf-huruf itu menyeruak masuk di telingaku. Biar yang busuk keluar! Biar berganti dengan yang baru dan akan membangitkan gairah.

"Tapi itu mustahil."

Aku diam.

02.15 malam.

Aku bintang malam milik dedaunan. Mengajak bulan menari .Tubuhku mengapung di awang-awang. Bukan melayang. Aku tak bisa bernyanyi riang. Suaraku serak. Menirukan desir angin pun aku tak bisa.

Aku duduk menjuntai di atas bayanganmu. Engkau mengelus dada. Kau resah padaku? Hanya diam. Sepi sunyi lekat di dinding malam. Inikah puisi yang bisu? Kenapa puisi harus bisu? Engkau diam seperti enggan menjawab. Lalu kau berpaling. Berjalan beberapa langkah,mendadak berhenti. Seperti ada jerat yang menangkap kaki mulusmu. Kau atau engkau? Bagaimana aku sebaiknya memanggilmu?

Ada jeda sesaat dalam keheningan.

Ada kilatan cahaya di ufuk timur. Membentuk garis horison ke arah selatan. Sedang hendak kemanakah dia? Menemui kekasih kah? Kekasih siapa? Aku terus bertanya-tanya dalam keremangan malammu. Tubuh jadi pekat sepekat-pekatnya. Jangan tinggalkan aku! Jangan! Sepertinya ini bukan sesuatu yang tepat untuk kau pilih.

Tapi.

Kau melanjutkan langkahmu lagi. Berjalan beberapa jengkal, seperti yang baru saja kau lakukan, kau mendadak berhenti.

Aku diam sebisaku.

Sebisa yang aku lakukan.

Bibirmu samar-samar menyeringai melayangkan senyum yang tak kutahu maknanya. Terlalu dalam. Aku tak dapat menyelam. Tolonglah aku! Temani aku dengan segenap jiwamu yang suci. Hadirmu sudah menyentak sunyiku.

Kau masih berdiri.
Tatap matamu tajam, sesekali tampak liar.

"Kau yang menggodaku."

"Tidak."

"Kau telah pahat semua huruf-huruf."

"Tidak."

"Kau yang menyintaiku."

"Tidak."

"Aku yang akan menyintaimu."

Kau diam.

Kepalamu merunduk.

Aku hanya menatap sebongkah batu cadas dari tebing gunung yang menjulang. Aku tak bisa menyelam, aku juga tak bisa mendaki. Aku memang tak bisa apa-apa. Aku tak ingin gunung. Aku tak ingin laut. Aku tak ingin daratan. Aku hidup mengapung di awang-awang.
Aku tak……

Kau berikan punggungmu. Kemudian melangkah dan….semakin lama kau semakin mengecil. Menjadi noktah samar di pekat malam.
ada yang berlagu semerdu gagak memeluk punggung
malam. lintaskan warta
tentang aku di awang-awang
tentang aku,
tanah telah tiadakan
jejak kaki anak-anak zaman
puing-puing menggusur petak-petak
airmata beku bercampur darah dan nanah
ibu-bapa menangis di atas ranjang

Aku tersentak. Hanya nyanyi sepi malam itu yang menggema, mengalunkan bait-bait yang tak kumengerti. Sebab aku tak pandai berpuisi. Aku tak pandai bersyair….jika sekedar untuk merayumu kembali.

Sebentar!

Ada bayangan berkelindan di antara semak-semak. Lihat! Ujung-ujungnya bergoyang. Tapi siapakah yang berada di sana? Tikus, kucing, katak, belalang,….semuanya bukan. Tapi pucuk-pucuk daunnya masih tetap bergoyang.

Dengar! Ada suara siulan bergaung di kejauhan. Memantul sampai ke bulan dan langit. Suara siulan siapakah itu? Aku tak dapat memastikannya. Terlampau jauh bagiku di sini.
Lihat lalu dengarkan!

Ada cahaya menyambar seperti pecut disusul dengan suara gelegar.

Tapi aku…..
Aku ditimpa hening di sini. Melagu dalam hati, memikatmu. Namun, kau tak pernah kembali. Kau telah pergi. Terlanjur pergi. Kau noktah. Aku juga noktah, sampai di titik terakhir.

(suatu malam-Yogyakarta, Juli, 2004)

____________________
Catatan:
ini adalah cerpenku yang pertama kali dimuat di koran, HU Surya edisi Minggu 16 September 2006. yang berkesan adalah, kepuasan saat kulihat namaku terpampang (saat itu).

0 komentar:

 
Toggle Footer
Top