17.5.06
One komentar

CERPEN = SENJA DI SEBUAH KAFE

Senja Di Sebuah Kafe

Hampir saja ia tak dapat menguasai diri ketika melihat lelaki itu mendadak ada di hadapannya. Tampaknya antara ia dan lelaki itu belum saling melupakan. Serentak ia pun ingin memekik. Tapi diurungkan. Seandainya ia tahu rencana Tuhan sebelum segalanya terjadi, tentu ia memutuskan memilih jalan lain, sesalnya dalam hati.
"Sendirian?" ucap lelaki itu memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
Dan, perempuan yang ditanya itu memilih diam.
Seperti pemburu yang enggan melepaskan binatang buruannya, lelaki itu tak mau melewatkan kesempatan tak terduga itu. Ia coba mengolah suasana. Dengan ramah, ia ajak perempuan itu mampir di sebuah kafe tak jauh di seberang jalan. Dari sorot matanya, perempuan itu jelas tak bisa berkutik seperti burung merpati yang terperangkap pukat.
Suasana kafe yang ramah dan tenang senja itu, tak seperti yang mereka kunjungi ketika masih kuliah. Ada yang berubah. Hanya ada beberapa pengunjung dan pelayan berjalan bolak-balik. Bahkan, dari duapuluh meja yang mengisi ruangan itu hanya ada tujuh atau delapan yang terisi. Sementara dari speaker yang tergantung di empat sudut ruangan terdengar sayup-sayup suara Eric Clapton lewat Wonderful Tonight-nya. Tiba-tiba ada kegelisahan merayap di hati lelaki itu, tapi ia coba menepis.
Tak lama berselang setelah mereka mengambil duduk, seorang pelayan laki-laki berpakaian rapi namun terkesan santai menghampiri mereka dengan wajah ramah. Seolah memaklumi maksud kedatangan pelayan tersebut, lelaki itu langsung meminta segelas jus alpukat untuk dirinya dan segelas susu hangat untuk perempuan yang duduk di hadapannya.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik."
"Baik? Hanya itu saja jawabanmu?"
"Apalagi yang kamu inginkan?"
"Oh, rupanya kamu masih juga seperti dulu. Keras kepala."
"Ya, aku orangnya memang begini. Aku pikir kau tak perlu lagi bertanya sebab kau sudah tahu, bukan?" jawab perempuan itu dengan sikap acuh tak acuh.
Untuk sesaat kesunyian kembali melanda mereka. Sampai datang seorang pelayan lainnya membawa talam dengan dua gelas minuman yang dipesan lelaki itu.
"Aku tiba di Jogja sejak dua hari lalu. Barangkali aku akan tinggal di sini untuk seminggu. Di Jakarta aku diterima bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Kau tahu, dari dulu aku sudah bercita-cita hidup tak jauh dari dunia tulis-menulis. Memang aku gagal jadi penulis, tepatnya cerpenis. Tapi, pekerjaanku sebagai editor yang tak pernah kuimpikan sebelumnya ternyata cukup menghiburku. Dan, ini sudah kuanggap sebagai pemberian Tuhan yang terbaik buatku. Aku jadi kian yakin bahwa pilihan manusia tak pernah mutlak bisa diraih. Boleh saja kita merencanakan sesuatu, soal kenyataan itu urusan Yang Di Atas. Lucunya, ha ha ha (sambil tertawa), aku selalu merasa tolol ketika berpikir bagaimana mungkin manusia memaksakan kehendaknya pada Tuhan. Bukankah sebaliknya, manusia yang harus menuruti kemauan-Nya karena tanpa-Nya, jangankan mereka makan, hidup pun tak bisa mereka ciptakan sendiri. Eh, ngomong-ngomong, apa kesibukanmu sekarang?"
Dengan sedikit kikuk, mungkin berusaha memilih kata-kata, perempuan itu mengisahkan pekerjaan barunya sebagai guru play group di Yogyakarta. Itu pun baru berjalan kurang dari empat bulan. Awalnya, ia mengaku tak pernah terpikir pekerjaan itu akan diterimanya. Justru ia memilih bercita-cita membantu usaha ayahnya mengelola toko kain di samping rumahnya hingga akhirnya suatu saat ia berharap bisa membuka usaha sendiri.
Tapi nasib berkata lain. Suatu hari kakak sepupunya yang tinggal di Yogya mengabari bahwa sebuah play group di Kota Gudeg membutuhkan guru tambahan. Suatu kebetulan pula direktur play group tersebut adalah kawan kakak sepupunya semasa kuliah. Tak ada salahnya mencoba, kata kakak sepupunya, dan kata-kata itu selalu diingat perempuan itu.
"Beruntung sekali. Selamat, ya. Ternyata nasib kita sama. Menurutku, kamu cocok menerimanya. Sejak dulu aku yakin kamu pasti menginginkan pekerjaan itu," kata lelaki itu.
Perempuan itu tersipu. Satu sindiran halus, sanjungan, atau entah apa namanya telah meluncur dari mulut lelaki yang pernah mengisi hari-harinya selama kuliah dulu. Sejak mereka lulus dua tahun lalu, mereka berpisah untuk menentukan jalan hidup amsing-masing. Bukankah tentang pilihan, setiap orang berhak menentukannya sendiri? Hingga tiba akhirnya lelaki itu menyabung nasib di Jakarta, sementara setelah wisuda sarjana, perempuan itu memilih pulang ke kampung halamannya, sebuah kota di wilayah pantura, namun kini nasib memanggilnya kembali ke Yogyakarta.
Dan, pertemuan tak terduga senja itu seperti oase bagi mereka. Siapa yang tak merasa rindu setelah lama berpisah. Terlebih mereka sangat jarang berkomunikasi lagi sejak lulus kuliah, baik itu melalui email, sekedar bercakap-cakap lewat telepon, atau melalui SMS (short message service). Pernah suatu kali di awal-awal kelulusan, lelaki itu coba menelepon ke rumah perempuan itu, tapi suara perempuan itu terdengar berat. Kali lain, perempuan itu terkesan ingin menghindar dari lelaki itu saat ia kembali coba meneleponnya. Adik perempuannya yang mengangkat telepon mengatakan kalau kakaknya sedang tak ada. Namun lelaki itu tak puas dengan jawaban si adik. Ia terus mengejar sampai akhirnya si adik tak bisa lagi mengelak dan mengatakan bahwa kakaknya berpesan jika sewaktu-waktu lelaki itu menelepon, ia disuruh mengatakan kalau kakaknya tak ada. Dan, perempuan itu merasa terjebak dalam pertemuan tak terduga, senja itu.
"Kudengar kamu akan menikah? Ya, kalau kamu memang sudah punya pilihan yang kamu rasa tepat buat kamu, bisa memahamimu apa adanya, dan kalian sama-sama siap, kenapa mesti ditunda? Apalagi perempuan di mana-mana sering dikejar usia, gitu loh," kata lelaki itu menggoda. Si perempuan yang tak mengira mendapat pertanyaan itu, tak menyiapkan jawaban yang tepat. Dan, untuk itu ia sedikit gugup. Ia kembali memilih diam.
"Sudahlah kalau kamu keberatan menjawabnya."
Ah, rasanya jantung perempuan itu makin kencang berdegup. Ia tak habis pikir dari mana lelaki itu mendapat berita bohong. Ia sebenarnya ingin berterus terang pada lelaki itu bahwa semua berita itu palsu. Bahkan hingga usianya mendekati tiga puluh saat ini, ia sebenarnya masih sendiri. Tapi ia ragu apakah lelaki itu akan percaya padanya.
Sebaliknya, lelaki itu terus menjejali perempuan itu dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan yang sesungguhnya hanya hasil rekayasa lelaki itu saja. Dalam kondisi itu, ia merasa tak sepakat jika menghadapi orang seperti perempuan itu dengan menyuguhkan pertanyaan datar-datar saja. Ia teringat cara yang pernah diajarkan kawannya sewaktu kuliah dulu. "Kalau elu mau ngorek keterangan dari mulut cewek elu, bikin pernyataan yang jadi oposisi biner maksud elu. Bikin situasi yang berlawanan. Bilang saja, apa yang sekiranya tak pernah ia lakukan atau apalah yang ia benci. Gue jamin deh, pasti manjur!"
Dan, kala itulah lelaki itu benar-benar melakukan apa yang pernah dikatakan kawannya.
"Kau tahu, loneliness seems like an evil dream," kata lelaki itu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Perempuan itu tak langsung menjawab. Kembali lelaki itu menyodorkan kata-kata yang cukup menusuk. Dari sorot matanya tampaklah perempuan itu berusaha menebak apa yang bakal disampaikan lelaki itu. Ia biarkan lelaki itu muntahkan semua yang ada dalam pikirannya. Sampai akhirnya ia tahu, lelaki itu ternyata masih belum bisa menerima keputusan yang pernah diberikannya saat mereka masih sama-sama berstatus mahasiswa tingkat akhir, lebih dari dua tahun lalu. Dan, sebisa mungkin perempuan itu menghindari perasaan bersalah, setidaknya pada pertemuan kali itu.
"Ya, sampai sekarang aku masih sendiri. Aku baru menyadari jika kesendirian sangat menyiksa. Dan, aku juga tahu, kau sebenarnya tak siap menjadikannya sebagai kekasihmu. Apalagi ia adalah kawan dekatmu sendiri. Tapi, nyatanya kau lebih menerima dirinya daripada aku. Bagiku ini jelas tak adil. Satu kesalahan kecil tak sebanding dengan hukuman yang kau berikan padaku. Aku bisa saja menuduh hukuman itu berdasarkan dendam dan kesombongan seorang perempuan, bukan untuk diambil hikmahnya," sambung lelaki itu.
Lamat-lamat perempuan itu jadi ingat betul dengan peristiwa yang terjadi suatu malam menjelang perpisahan mereka, dua tahun silam, tapi ia lupa persisnya kapan. Lelaki itu mendatangi kos-kosan perempuan itu. Sejak beberapa hari sebelumnya, ia telah mengatur rencana melepaskan panah cinta dari busurnya. Bahkan, di tengah perjalanan menuju kos-kosan perempuan yang dicintainya itu, tak henti-henti lelaki itu terus memutar otak menyiapkan suasana hatinya. Tentu ini lebih sulit daripada menyiapkan pakaian atau parfum mana yang akan dipakainya malam itu. Ia sadar hanya ada dua jawaban yang akan didengar dari mulut perempuan yang dicintainya; ya atau tidak.
Tiga bulan kemudian, seorang lelaki yang sungguh-sungguh mencintainya secara tulus harus pulang dengan puing perasaan yang berserakan. Lelaki itu tidak saja merasa dikecewakan, melainkan dipermalukan. Bahkan tanpa segan, perempuan itu mengenalkan seorang laki-laki lain yang diakui sebagai kekasihnya pada lelaki itu. Dalam kesempatan lain, lelaki itu mengajak perempuan itu bicara empat mata. Ia mengumpatinya habis-habisan. Dan, pertemuan yang diwarnai pertengkaran itu menjadi pertemuan terakhir mereka.
Namun, dalam pertemuan mereka di sebuah kafe senja itu, lelaki itu berharap setelah dua tahun berlalu, ada yang berubah pada diri perempuan yang pernah menginap dalam hatinya itu. Ia pernah mendengar seorang kiai menyampaikan ceramah bahwa sesungguhnya hati mudah sekali berubah-ubah. Dan untuk itulah, lelaki itu berharap kedatangannya ke Yogyakarta tidak sia-sia.
"Ada lagi yang masih ingin kau katakan tentangku selain mengungkit-ungkit masa lalu kita?" kata perempuan itu. Tajam setajam belati menyayat hati lelaki itu.
Hingga mereka terdiam. Langit semakin gelap dan suasana menjadi kian senyap. Kesenyapan tidak merasuk di kafe itu tetapi di dalam hati masing-masing. Seolah mereka ingin mengunyahnya sebelum pulang dan akhirnya saling berjanji pada diri masing-masing untuk tidak akan pernah bertemu kembali. ***

*semacam kado ulang tahun buat Ida

(dimuat di HU Suara Karya, Minggu 23 April, 2006)
_____________________________
Catatan:
sebenarnya cerpen ini saya tulis sebagai kado ulang tahun kawan saya, tapi oleh pihak redaksi koran yang memuat, ternyata sisipan saya tidak dicantumkan.

1 komentar:

Ririn said...

bagus...
kalau gak bagus, gak mungkin kan dimuat di HU Suara karya? :)
Terus menulis ya....

 
Toggle Footer
Top